Masyarakat Global Memerlukan Visi Ulang Kemanusiaan

Pembicara dan peserta seminar (Istimewa/PWMU.CO)

PWMU.CO – Pimpinan Cabang IMM Djazman AlKindy Unversitas Ahmad Dahlan Yogyakarta menyelenggarakan Simposium Pemikiran Islam bertema “Memvisikan Ulang Kemanusiaan Universal” (Reenvisioning of Global Humanity), Senin (13/5/2024).

Simposium yang dipandu oleh Iman Sumarlan—pembina IMM dan dosen Fakultas Komnikasi UAD—menjadikan buku karya deklarator IMM (1964) Sudibyo Markus Dunia Barat Dan Islam, Visi Ulang Kemanusiaan Universal sebagai awal pembahasan. Dilanjutkan dengan pembahas dua dosen UIN Yogyakarta: Prof Amin Abdullah dan Dr Ahmad Norma Permata PhD. 

Sudibyo Markus mengawali pembahasan bukunya dengan topik Perang Salib selama duaabad di Eropa dan Kerstening Politik pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. 

Menurutnya dalam kedua kasus tersebut di atas, agama Kristen lebih banyak dimanfaatkan oleh penguasa untuk mendukung kekuasaan mereka. 

Sehingga, menueutnya, konflik dalam Perang Salib dan Kerstening Politik lebih banyak merupakan konflik dunia Islam dengan kepentingan penguasa atau pemerintah Barat, dibandingkan konflik antara Islam dengan Kristen. Walaupun gereja sangat diuntungkan dengan berbagai fasilitasi oleh penguasa Barat.

Dia menegaskan, Perang Salib merupakan balas dendam bangsa-bangsa Barat yang merasa dipermalukan (humiliated) oleh Islam ketika Islam masuk dan menguasai Portugis di Andalusia sejak awal abad ke-delapan hingga akhir abad ke-15. 

Walau Barat mengakui akan jasa Islam dalam membangun peradaban Barat—yang tidur nyenyak sejak keruntuhan Romawi pada abad ke-4 hingga ke-15—tapi mereka mengkalim menjadi bangsa maju dan berkeadaban melalui proses renaisanse dan reformasi. 

Sudibyo Markus menegaskan, Perang Salib yang dimaksudkan oleh Paus Urbanus II untuk membantu Kaisar Konstantinopel yang mulai kewalahan menghadapi  gangguan Turki Seljuk(sehingga bilamana pasukan Salib berhasil mengusir “perusuh-perusuh” Turki Seljuk tersebut) diharapkan Geraja Orhodox yang berpusat di Konstantinopel akan bisa menyatu kembali dengan Vatikan. 

Dia menjelaskan Perang Salib sama sekali bukan perang suci atau misi penginjilan. Nyatanya ketika Pasukan Salib berhasil merebut Kota Jerusalem pada tahun 1097, penduduk Jerusalem yang berjumlah 70.000 jiwa itu dibantai habis oleh pasukan salib. Tanpa membedakan agama, usia, dan sebagainya. 

“Jerusalem selama tak kurang selama tiga bulan, anyir bau darah,” ujarnya.

Demikian juga Kerstening Politik di Indonesia yang diperintahkan oleh Ratu Belanda (1900), misi Kristensasi atau minimal “londonisasi” di Nusantara, sebagaimana ditegaskan oleh Sbouck Hurgronye, lebih banyak dimaksudkan untuk semakin melanggengkan cengkeraman penjajajahan di bumi Nusantara.

Konsili Vatikan II 

Amin Abdullah menguraikan bagaimana tiga tunggak sejarah (milestones) berupa momentum historis bagi perbaikan hubungan antarumat beragama sebagai sesama pengikut Nabi Ibrahim.  

Pertama, Konsili Vatikan II (1962-1965) yang melahirkan momentum baru berupa pengakuan gereja atas universalitas kemanusiaan dan  penghormatan kepada semua agama non-Kristiani. Selama ini gereja berpendapat, keselamatan hanya untuk mereka yang dibaptis.

Kedua, A Common Word between Us and You (ACW) berupa surat terbuka ke Paus Benediktus XVI yang ditandatangani oleh 308 ulama dan cendekiawan Muslim sedunia, yang dirintis oleh Pangeran Gahzi bin Muhamad atas perintah Raja Jordania, merupakan ajakan untuk membangun perdamaian dan mengakhiri segala bentuk purbasangka dan permusuhan antara masyarakat Kristen dan Muslim atas dasar “Kalimat yang Sama” atau “A Common Word” yang diangkat dari  al-Quran Surat Ali Iman 64.

Menurut Amin Abdullah, ternyata surat terbuka ACW tersebut diterima dengan tangan terbuka oleh Paus Benediktus XVI dan semua pimpinan tertinggi gereja sedunia.

Ketiga, Deklarasi Persaudaaan Kemanusiaan. Kalau Konsili Vatikan II dan “A Common Word between Us and You” merupakan deklarasi dan pernyataan-pertanyaan sepihak dari masing-masing gereja Katolik dan umat Islam, maka pada tanggal 4 Februari 2019, Grand Imam Al Azhar Sheikh Ahmad El-Thayyib bersama Paus Fransiskus bertemu dan menyatakan satu deklarasi bersama yang disebut Declaration on Human Fraternity atau Deklarasi Persaudaaan Kemanusiaan. Deklarasi ini menekankan pentingnya mewujudkan cultural encounters atau perjumpaan budaya antara kedua pihak: umat Islam dan Kristen.

Hadiah Nobel dan Zayed Award untuk Muhammadiyah

Sementara Dr Ahmad Norma Permata PhD yang alumnus Jerman menegaskan, sejak awal Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) memberikan konsep-konsep teologi atau fikih tentang kemanusiaan dan persaudaraan antar umat manusia.

Karena itu gerakan Muhammadiyah yang disebut oleh Prof Robert Hefner sebagai model gerakan kemanusiaan Islam terbaik di dunia tersebut, pernah diusulkan untuk mendapatkan Hadiah Nobel untuk Perdamaian.

Walau belum berhasil, tapi paling tidak gerakan Muhammadiyah semakin dikenal dan diakui di dunia Internasional. Akhirnya pengakuan atas kapasitas, posisi dan peran Muhammadiyah di ranah global tersebut diakui komunitas kemanusiaan internasional  melalui Zayed Award for Human Fraternity yang diberikan kepada Muhammadiyah, bersama Nahdlatul Ulama di Abu Dhabi pada 4 Februari 2024 yang lalu. 

The Zayed Award yang merupakan Nobel-nya dunia Islam, merupakan upaya pemerintah Uni Emirat Arab untuk mengabadikan semangat persaudaraan antarumat manusia, menyusul Deklarasi bersama antara Sheikh Ahmad El-Thayyib bersama Paus Fransiskus pada tanggal 4 Februari 2019 tersebut.

Menurutnya, setelah melalui perjalanan panjang sejarah kemanusian yang diwarnai oleh berbagai konflik, timbul kesadaran baru di kalangan umat beragama sejak abad ke-20 berupa Konsili Vatikan II 1965), A Common Word between Us and You (2007) dan Deklarasi Persaudaraan Kemanusiaan (Abu Dhabi 2019).  

“Segenap komitmen-komitem tersebut di atas penting, tapi belum cukup. Bahkan komitmen untuk membangun cultural encounters atau “perjumpaan budaya” sebagaimana ditegaskandalam Deklarasi Persaudataan Kemanusiaan Abu Dhabi tersebut belum cukup untuk menjamin bahwa konflik atau minimal ketidakserasian kehidupan antar umat beragama tidak terulang lagi,” ungkap Ahmad Norma Permata. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version