Strategi Klinik Muhammadiyah-Aisyiyah di Zaman Viral

Strategi klinik
Dokter Solihul Absor bicara strategi Klinik Muhammadiyah-Aisyiyah di Rakerwil MPKU PWM Jatim. (Hariadi/PWMU.CO)

PWMU.CO – Strategi klinik Muhammadiyah-Aisyiyah menghadapi perubahan di bidang kesehatan disampaikan Wakil Ketua Majelis Pembinaan Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dr Solihul Absor MKes.

Acara Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) ke-14 Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) PWM Jatim dihadiri pimpinan 52 klinik Muhammadiyah-Aisyiyah se-Jawa Timur.

Tiap klinik mengirim tiga utusan terdiri dari penyelenggara, pengelola, dan bagian keuangan. Total peserta 164 orang. Rakerwil digelar di Rayz UMM Hotel Malang, Jumat-Sabtu 31-1/5/6/24).

Dokter Absor mengatakan, kalau ada perubahan di bidang apa saja rasanya klinik kita menjadi berubah, karena memang terjadi perubahan competitor.

Perubahan, kata dia, juga mengubah sifat-sifat costumer, maka kita harus mengubah klinik kita.

“Setiap kali ada perubahan dicermati betul, klinik yang tidak bisa mencermati perubahan tidak terasa tahu-tahu pasiennya habis,” pesannya. ”Perubahan itu semakin lama semakin cepat,” tambahnya.

Dia mencontohkan, dulu sebelum ada BPJS, Klinik Muhammadiyah-Aisyiyah jelas nomor satu dibandingkan dengan layanan Puskesmas.

”Karena sama-sama bayar lebih baik berobat ke Klinik Muhammadiyah. Ketika sudah ada BPJS orang memilih berobat ke Puskesmas. Lama-lama yang namanya Puskesmas itu sudah menjadi rumah sakit tipe D,” kata Absor.

”Coba bayangkan kalau kita tetap saja mengelola klinik seperti dulu habis kita, mungkin dapat koret-koretnya,” tuturnya.

”Nah, koret-koret itu intip kan enak, kalau koret-koret gosong ya susah kita. Kalau intip digerus jadi kopi sekalian,” selorohnya.

Dia menerangkan, faktor perubahan yang harus dilakukan klinik itu, pertama, change. Yaitu bagaimana teknologi itu bisa mengubah seluruh aspek kehidupan.

Kemudian dari teknologi itu akan mengubah, mungkin waktu perubahan tidak terasa, tapi ketika regulasi berbicara mulai ada BPJS. Itu regulasi lama-lama berubah begitu cepat.

Ia menceritakan, dulu yang namanya BPJS pelakunya fasilitas layanan kesehatan dapat jumlah kapitasi sudah jalankan. Sekarang tidak bisa begitu harus ada akreditasi kalau tidak menjalankan akreditasi akan diputus.

Kedua, bagaimana orang berinteraksi dengan orang lain itu berubah. Kalau dulu orang mau berobat tanya ke siapa. Saya mau ke Puskesmas atau klinik tanya ke tetangga. Sekarang bisa melihat Google Map.

“Dulu teorinya satu orang kalau mengeluh tidak puas atas pelayanan kesehatan akan mengakibatkan menyebar sepuluh kali lipat orang berbicara dari mulut ke mulut. Sekarang sekali viral bisa menyebar se-Indonesia,” tandasnya.

Dia menambahkan, dulu kita mengandalkan pasien umum. Tapi sekarang coba mengemis ke BPJS, kalau tidak didukung BPJS rasanya ndak mungkin kita bisa mendirikan klinik yang bisa survive.

”Paling menentukan bukan siapa yang paling kuat atau siapa yang paling pintar suatu makhluk hidup itu bisa bertahan. Kalau diterjemahkan ke dunia klinik bukan perkara kliniknya kuat apa tidak, tapi orang yang bisa mengikuti perubahan,” katanya.

Jadi, sambung dia, kalau ingin bertahan lama menghadapi perubahan, jawabannya apa? 

Peserta menjawab: ada pasien.

”Kalau jawaban seperti itu sebetulnya materi ini sudah selesai,” ucap dokter Absor. (*)

Penulis Slamet Hariadi Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version