Jadi Guru Harus ‘Baper’

Wahidul Qohar – Guru Bahasa Indonesia Madrasah Aliyah Muhammadiyah 1 Karangasem Paciran

PWMU.CO – Pendidikan merupakan pondasi utama dalam membentuk generasi penerus yang unggul. Dalam konteks ini, peran guru tidak sekadar memberikan pengetahuan, tetapi juga sebagai fasilitaror yang harus mampu membangun hubungan emosional dengan siswa. Oleh karena itu, menjadi guru yang peka terhadap perasaan siswa merupakan suatu keharusan agar proses pembelajaran berlangsung dengan lancar dan efektif.

filosofi jawa mengatakan “Guru iku digugu lan ditiru”. Ini menjadikan bahwa setiap ucapan ataupun tindakan seorang guru itu menjadi panutan bagi para siswa. sehingga apa yang menjadi sikap atau tintakan bisa menjadi sumber referensi dan rujukan bagi siswa kedepannya.

Kita sebagai guru, pasti pernah mengalami yang namanya ketidaksepahaman dengan siswa. Baik itu terkait dengan aktifitas pembelajaran maupun aturan- aturan tata tertib sekolah. Dan semuanya itu diperlukan kesabaran yang ekstra untuk menyelesaikan permasalahannya.

Mengapa Guru Harus ‘Baper’?

Menjadi guru yang ‘baper’ bukan berarti menjadi guru yang mudah marah ketika siswa dianggapnya menyalahi aturan sekolah. atau mungkin mudah ngambek sebab banyak siswa yang tidak memperhatikan saat pembelajaran.

Seperti kasus pemukulan oleh guru terhadap dua siswa di SMP Swasta Raden Fatah Malang yang baru-baru ini menjadi sorotan. Peristiwa yang terjadi karena kedua siswa itu melanggar aturan dengan terlambat datang saat ujian, sehingga guru tersebut memukul dua siswa tersebut.

Ada juga kasus Apinsa, guru SD Negeri di Karang Anyar, Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, yang memukul muridnya dengan rotan sehingga dijatuhi 1 tahun percobaan hukuman oleh putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Palembang

Dengan contoh kasus yang semacam itu, dapat menjadikan nama guru bahkan nama baik sekolah tercoreng. hal ini menandakan bahwa guru di Indonesia sudah termasuk guru yang ‘baper’ atau belum.

Menjadi guru yang ‘baper’ artinya, seorang guru yang harus memiliki kemampuan untuk membaca dan memahami perubahan emosi dan mood siswa. yang meliputi kesadaran terhadap tanda-tanda kecemasan, kegembiraan, frustrasi, atau bahkan ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan siswa. Dengan kemampuan ini, guru dapat menyesuaikan metode pengajaran, memberikan dukungan tambahan, atau bahkan memberikan waktu tambahan jika diperlukan.

Manfaat Menjadi Guru ‘Baper

Salah satu manfaat utama dari kepekaan guru terhadap mood siswa adalah menghindari eskalasi konflik antara guru, siswa, dan orangtua. Terkadang, ketidakpahaman atau ketegangan antara guru dan orangtua dapat mengakibatkan situasi yang lebih serius, bahkan hingga laporan polisi. Dengan memahami mood siswa, guru dapat membangun komunikasi yang lebih efektif dengan orangtua, sehingga potensi konflik dapat diatasi sejak dini.

Lebih dari itu, guru yang ‘Baper’ mampu mendeteksi masalah atau kesulitan yang mungkin dihadapi siswa. Hal ini termasuk masalah akademik, konflik dengan teman sekelas, atau masalah pribadi yang dapat memengaruhi kinerja belajar. Dengan mengenali tanda-tanda ini lebih awal, guru dapat memberikan bimbingan dan dukungan yang tepat, sehingga siswa dapat mengatasi masalahnya dengan lebih baik.

Namun, menjadi guru yang ‘baper’ bukan berarti terombang-ambing oleh emosi siswa atau mengambil tindakan berlebihan. Sebaliknya, hal ini menunjukkan bahwa guru memiliki kemampuan empati yang tinggi dan dapat menanggapi kebutuhan siswa dengan bijak. Guru harus tetap mempertahankan keseimbangan antara memberikan dukungan dan memberikan arahan yang diperlukan.

Tentu saja, kepekaan terhadap mood siswa adalah bagian dari strategi pendidikan yang lebih besar. Guru juga harus memperhatikan aspek-aspek lain seperti kurikulum yang sesuai, metode pengajaran yang efektif, dan manajemen kelas yang baik. Namun, kepekaan terhadap mood siswa adalah dasar dari hubungan yang kuat antara guru dan siswa, yang pada gilirannya akan memperkuat proses pembelajaran.

Dalam kesimpulannya, menjadi guru yang ‘baper’ atau peka terhadap mood siswa adalah kunci untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang harmonis dan efektif. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi siswa secara individual, tetapi juga dapat mencegah potensi konflik antara guru, siswa, dan orangtua. Dengan memahami dan merespons perubahan mood siswa dengan bijak, guru dapat membentuk fondasi yang kokoh untuk pertumbuhan dan kesuksesan siswa di masa depan.

Editor Teguh Imami

Exit mobile version