Al-Maun dalam Konteks Adab dan Kemanusiaan

Muhsin MK

Oleh: Muhsin MK – Aktivis PCM Cipedak Jakarta Selatan

PWMU.CO – Teologi al-Maun yang menjadi acuan gerakan sosial dan kemanusiaan Muhammadiyah cukup menarik untuk terus-menerus dikaji agar aktualisasinya semakin baik dan sesuai dengan perkembangan zaman dan mengglobal.

KH Ahmad Dahlan pada masa awal melakukan kajian al-Maun itu tentu tidak berlarut-larut pada murid muridnya, sebagaimana melakukan kajian tafsir, ilmu Kalam, filsafat. Kajiannya mudah difahami, diresapi dan diamalkan dalam kehidupan konkrit berkait dengan anak yatim dan fakir miskin.

Pemahaman Tentang Al-Maun

Pemahaman al-Maun murid murid KH. Ahmad Dahlan ini kemudian tumbuh dan berkembang.  Menjadi sebuah gerakan bukan hanya pemikiran tapi pembangunan peradaban Islam.

Namun tidak hanya bersifat fisik semata, seperti gedung-gedung megah menjulang ke langit. Tetapi juga berkaitan dengan yang non fisik sebagaimana lahirnya antara lain:

1. Sistem pendidikan yang seimbang antara Dien dan dunia.

2. Sistem pelayanan yang lebih islami dan manusiawi.

3. Sistem pengelolaan atau manajemen yang lebih modern dan canggih dengan menggunakan teknologi tinggi dan digital sehingga semakin berkualitas, profesional, akuntable, transparan dan cepat selesai tanpa hambatan sedikitpun.

4. Sistem kesejahteraan yang ideal, memakmurkan dan berkah bagi sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dan bekerja dengan ikhlas dan sepenuh jiwa raga di dalamnya tanpa mengabaikan pesan KH. Ahmad Dahlan, “Hidup hidupkanlah Muhammadiyah dan tidak mencari hidup dalam Muhammadiyah”.

5. Sistem pembinaan moral dan spiritual pada semua pimpinan, kader para anggotanya tidak sekedar melalui aktifitas formal seperti Baitul Arqam tetapi juga menggerakkan hidup berjamaah dengan pembinaan intensif dari ulama dan assatidz Muhammadiyah yang tinggal bersama jamaahnya.

Semua sistem itu mulai berjalan dan bergerak di lingkungan Muhammadiyah di beberapa daerah. Namun masih ada lainnya dalam rangka memperluas, memperkuat dan memperdalam pemahaman dan pengamalan perlu ada peningkatan yang lebih baik dan berkemajuan.

Pendidikan Adab dan Kemanusiaan

Pendidikan adab ini menjadi faktor utama dalam membangun masyarakat yang beradab dan memajukan peradaban dunia. Ini juga berarti menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang lebih beradab. Selain itu juga menjadi organisasi yang terdepan dalam memajukan peradaban Islam di dunia.

Pendidikan adab yang diajarkan dalam surat al-Maun saja ada minimal ada 10 (sepuluh) bentuk yang mudah untuk dilakukan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pertama, tidak mendustakan agama (Islam) (al-Maun: 1), berdusta perbuatan dosa (al-Baqarah: 283)  Dia tidak akan mendapat petunjuk dari Allah (Ghafir: 28). Termasuk sikap orang Munafik dan akan mendapat adzab yang pedih (al-Baqarah:10).

Pendusta dilaknat oleh Allah (az-Zumar: 3, an-Nur: 7). Orang berdosa tempatnya di neraka sesuai sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berdusta suatu kejahatan dan kejahatan tempatnya di neraka”. (HR. Bukhari no 6094, Muslim 2607, Abu Dawud no. 4989, At Tarmidzi no.1971).

Kedua, tidak suka menghardik, apalagi terhadap anak yatim (al-Maun: 2). Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna menghardik artinya menolak dan membentaknya dengan keras, kasar dan kejam, menzalimi dan berlaku sewenang wenang (ad-Dhuha: 9-10), serta berbuat buruk pada orang miskin dan/atau anak yatim.

Selain itu, menghardik juga berarti tidak berbuat baik (an-Nisa:36), apalagi memuliakan (al-Fajr: 9), mengasihi, menolong dan menyantuni dengan ikhlas dan penuh kasih sayang (Tafsirweb.com).

Ketiga, memberi makan, santunan, bantuan dan pertolongan pada orang lain (al-Maidah: 2), terutama pada fakir miskin. (al-Maun: 3, al-Fajr:10). Memberi makan terlebih lagi pada saat mereka dalam kelaparan (al-Balad: 14), seperti rakyat dan anak-anak Palestina.

Termasuk pada anak yatim yang masih ada hubungan kerabat(al-Balad: 14-15), tawanan (al-Insan: 5-8), serta orang orang dhuafa yang datang meminta-minta dan mereka yang tidak mau mengemis (Al Hajj: 28,36, az-Zariat: 18).

Keempat, menjauhkan diri dari keburukan kerusakan dengan selalu menegakkan shalat (al-Maun:4). Shalat adalah berdzikir mengingat Allah. (Thaha: 14). Dengan menegakkan shalat hati menjadi tenteram (ar-Ra’d: 28). Selain itu shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (al-Ankabut: 45).

Perbuat keji (fahsya’) adalah perbuatan buruk yang sudah keterlaluan, seperti berzina (al-Isra’: 32). Munkar adalah setiap sesuatu yang menyimpang dari syariat dan akal sehat seperti pembunuhan dan pengrusakan (Tafsir Al Wajiz).

Kelima, tidak bersikap lalai apalagi dalam mengerjakan shalat (al-Maun: 5). Lalai menurut mufasirin tidak menegakkannya sebagaimana syariatnya dan tidak menunaikan pada waktunya (Tafsir Al Muyassar Kemenag Saudi). Sama dengan sifat orang munafiq yang mengerjakannya bukan pada waktu yang disyariatkan bahkan di luar waktunya (Tafsir Ibnu Katsir).

Keenam, menjauhkan diri dari atau tidak berbuat riya’. (al-Maun:6). Arti riya’ menurut kitab tafsir adalah memperlihatkan amal amal baik kepada manusia (Al-Muyyasar). Memamerkan segala amal kebaikan yang mereka kerjakan agar mendapat pujian (Zubdatut Tafsir.Min Fatahil Qadir).

Riya’ juga berarti beribadah hanya bermaksud mendapat perhatian dari orang lain (Li Yaddabbaru Ayatih). Melakukan ibadah hanya untuk diperlihatkan kepada manusia.(Ash-Shagir). Melakukan pekerjaan untuk dilihat orang (As-Sa’di).

Padahal dengan riya’ itu amal ibadahnya menjadi terhapus dan batal. (Al Baqarah:264). Riya’ itu pun termasuk perbuatan syirik asghar (kecil), termasuk mempersekutukan Allah juga. Sesuai sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik asghar. Ketika beliau ditanya apa maksudnya, beliau menjawab (contohnya) adalah riya’.”(HR.Ahmad dalam Al Musnad (V/428-429, dan Ath- Thabrani dalam Al Kabiir (430).

Ketujuh, selalu memberi bantuan, tidak enggan sama sekali. (al-Maun: 7). Bantuan bisa berupa pemikiran (Yusuf: 43-50, al-Qasas: 26, an-Naml: 32-33), ilmu (an-Naml: 38-40, al-Kahfi: 65:82), harta (al-Baqarah: 177) dalam bentuk sedekah/zakat (at-Taubah: 60), sedekah/infaq (al-Baqarah: 270-271), ghanimah (al-Anfal: 69, al-Anfal: 1) dan fa’i (al-Hasyr: 7).

Bantuan itu bisa pula berupa teknologi (al-Kahfi:96), tenaga (al-Qasas: 24), perbaikan/pembangunan rumah (al-Kahfi: 77,82) atau tempat ibadah/masjid (al-Kahfi: 21, at-Taubah: 108), makanan/miinuman (al-Balad: 14, al-Fajr: 18,), pakaian (al-Baqarah: 233), obat/pengobatan (Yusuf: 93, al-Maidah: 110), nasehat (an-Nahl: 125, al-Ashr: 3, al-Balad) dan lain sebagainya. (*)

Editor Wildan Nanda Rahmatullah

Exit mobile version