Menolak Lupa Melalui Laut Bercerita

Menolak Lupa Melalui Laut Bercerita
Leila S. Chudori(tiga dari kanan) usai bedah buku Laut Bercerita di Ruang Siti Parwati Universitas Airlangga Surabaya, Selasa (13/3/2018).foro: achmad san

Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk bebaskan rakyat.

Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami berjanji.

Barangkali Anda cukup mengenal petikan lirik lagu di atas. Ya, lagu Darah Juang karya John Tobing itu menggema di Ruang Siti Parwati Universitas Airlangga Surabaya saat mengawali acara bedah buku Laut Bercerita, Selasa (13/3/2018).

Hadir dalam diskusi buku ini dosen Unair Dr Adi Setijowati dan Wilson dari Amnesty International Indonesia sebagai panelis. Sementara itu, Leila S. Chudori, sang penulis, menjadi pembicara kunci.

Novel karya Leila S. Chudori itu memang berlatar sosial-politik. Serupa dengan novel sebelumnya, Pulang, yang memenangi Kusala Sastra Khatulistiwa kategori prosa pada 2013.

Novel Laut Bercerita mengambil setting perjuangan mahasiswa di era 1998 atau ketika berakhirnya masa Orde Baru. Tidak banyak, memang, penulis novel yang berani mengangkat tema sensitif seperti ini. Leila salah satunya.

Leila mengatakan, awal mula novel itu ditulis pada 2013. Dia melakukan riset panjang dan mewawancarai banyak pihak. ”Selama ini orang melihat peristiwa 1998 dengan pergerakan mahasiswanya. Saya ingin melihat dari perspektif orang-orang yang kehilangan, keluarga, teman,” ujar mantan wartawan Tempo itu.

Oleh karena itu, sebagian besar novel setebal 379 halaman ini berkisah tentang keluarga yang kehilangan. Kemudian, mereka mencari kejelasan makam anaknya.

Cerita dalam novel itu dibagi atas dua bab besar. Bab pertama dengan tokoh Biru Laut, mahasiswa asal Solo yang saat itu kuliah di Yogyakarta. Bab kedua melalui Asmara Jati, adik Biru Laut. Dua orang inilah yang menjadi protagonis dalam cerita. Ketika Biru Laut diculik dan disekap di Jakarta, pada saat itu juga Asmara Jati bersama keluarga besarnya menunggu di rumah menanti kedatangan kakaknya.

Leila mengaku agak rumit ketika melakukan riset tokoh. ”Karena tokohnya anak muda usia 20-an tahun kan. Padahal anak muda sekarang usia segitu beda banget dengan dulu,” katanya.

Selain itu, dia harus mencari ladang jagung untuk merasakan bagaimana mahasiswa kala itu melakukan pelarian karena dikejar-kejar aparat. ”Saya juga riset di kompleks pegadaian di Solo, karena waktu itu semua keluarga kalau tahun ajaran baru sibuk menggadaikan barangnya,” ujarnya.

Menurut perempuan kelahiran Jakarta 12 Desember 1962 itu, novel ini ditujukan terutama kepada para keluarga mahasiswa yang waktu itu dihilangkan secara paksa. Misalnya ada Petrus Bimo, mahasiswa asal Surabaya yang diculik ke Jakarta. Orang tua Bimo pun dihadirkan langsung dari Malang.

”Novel ini juga ingin mengingatkan bahwa ada cerita yang belum selesai. Tujuh janji pemerintah, seperti peristiwa Tawangsari, Semanggi 1, Semanggi 2, dan 1998,” kata Leila.

Leila menutup statement dengan mengatakan bahwa novel ini ditulis untuk tujuan kesadaran kolektif tentang sejarah. Agar orang-orang tidak lupa dengan peristiwa sejarah. ”Semua penulis seharusnya memang menekankan sisi kemanusiaan,” ungkapnya.

Sementara itu, Utomo Raharjo, ayah Petrus Bimo, salah satu korban penculikan, menuturkan dirinya pernah dipanggil ke istana oleh presiden. Menurut dia, Presiden Jokowi tidak terlalu menjanjikan dan hanya bilang normatif, kalau hilang ya dicari. Dia juga memaklumi pemerintah karena di sekelilingnya ada beberapa pihak yang menurutnya cukup tahu persoalan.

”Tapi, saya masih sanggup berjuang untuk anak saya yang hilang,” ucapnya lantang, kemudian disambut aplaus hadirin.

Menurut Dr Adi Sutijowati, novel Laut Bercerita sudah menunjukkan fungsi sastra seyogianya, yakni menyelamatkan memori kolektif. Maksudnya adalah mengingatkan pembaca akan peristiwa tertentu sehingga tidak mudah dilupakan.

Dosen FIB Unair itu menyatakan, memang ada beberapa budaya buruk Indonesia yang sulit dihindari. “Pertama, kekerasan fisik tidak pernah diungkapkan secara gamblang,” ujarnya.

Kedua, masyarakat gampang lupa atau gampang memaafkan. Ketiga, para penguasa enggan meminta maaf.

“Dan terakhir, kekerasan fisik dibenarkan terjadi. Di situlah fungsi sastra membangkitkan kesadarann kolektif,” tegasnya.

Sementara Wilson mengaku senang membaca novel ini. “Setelah membaca novel ini, beda fiksi dan nonfiksi jadi tipis sekali,” katanya. (achmad san)

Exit mobile version