Singkat cerita, pada akhirnya aku tampil membentangkan orasi ilmiah pada hari pengukuhan sebagai guru besar. Selepas dari bagian yang sangat segmented, orasi ilmiah, yang hanya dimengerti oleh kalangan terbatas, aku masuk pada bagian ekstatik.
Aku meyakini, kedua orang tua dan mertuaku pasti tidak paham dengan paparanku ihwal sengkarut agama di ranah sosial, kendati pada wajah mereka terlihat ekspresi antusias. Sudahlah, aku tidak perlu menuntut mereka memahami orasiku yang “ndakik-ndakik” secara ilmiah. Mereka sengaja kuhadirkan karena aku ingin memberikan pengakuan secara tulus, betapa tanpa mereka, aku mustahil mengalami apa yang kusebut dengan “quantum leap” dalam kehidupanku. Derajat pendidikan mereka, 6 1/2 tingkat di bawahku. Ya Allah, terutama kedua orang tuaku, kok bisa memosisikan diri mereka sebagai busur yang melesatkan diriku jauh melampaui zaman mereka.
Sepertinya abahku tidak mengerti apa itu profesor, bahkan hingga usia profesorku memasuki usia satu windu. “Syamsul itu kepalanya para guru,” adikku menirukan kalimat abahku kalau lagi cerita ihwal anak semata wayang dari isterinya yang kedua yang malahirkanku.
Kepalanya para guru? Sudahlah, kalau kalimat itu yang bisa membantu memahami lompatan anaknya, ya aku ini, aku tidak perlu menginterupsi dan meralatnya. Ya Allah, aku ingin menguak rahasia, orang tuaku, abahku, yang protolan kelas tiga dari sekolah rakyat, sempat berprofesi tukang bangunan, lalu beralih “mracang” sambil bertani, tetapi mampu melesatkanku melampaui zamannya.
Pak Malik yang kepadanya aku selalu menunjukkan takzim, sering mengutip pernyataan Khalifah Rasyidah keempat, Ali bin Abi Tholib “Didiklah anak-anakmu agar siap menghadapi zamannya, karena mereka kelak akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu.”
Abahku pasti tidak pernah mendengar, apalagi membacanya. Tapi suatu saat abahku pernah berucap, tak kalah dengan seorang filsuf: “Biarlah ku tinggalkan anak-anaku dengan ilmu, bukan dengan harta pusaka.”
“Aku akan sekolahkan kamu, kendati harus cari hutang sekali pun,” katanya kepadaku saat aku tinggal 1/4 perjalanan studi sarjanaku. Pada saat itu, “mracang” anahku mulai oleng.
Menjadi profesor? Wong profesor saja diartikan kepalanya guru, artinya abahku “gagal paham” memahami nomenklatur karir puncak akademisi universitas ini. Tidak pernah terpikir pada masa “nak-kanakku”, kelak aku menjadi profesor.
“Ba, aku ingin jadi guru agama saja.” Mimpi masa depan ini kukatakan kala aku masih duduk di kelas empat madrasah ibtidaiyah yang menyerupai sekolah para Laskar Pelangi, judul novel Andra Herata yang kemudian menjadi film nasional yang sukses meraih prestasi box office.
“Anak-anakku sekalian, siapa yang ingin menjadi profesor?” tanyaku kepada anak-anak kelas 4 dan 5 Madrasah Ibtidaiyah Khadijah, tempatku “turun gunung”, 2 Mei yang lalu. Wow, 3/4 dari mereka–kira-kira 120 orang–mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil berteriak: “Saya, saya,saya…”
Aku yakin, mereka dan kedua orang tua mereka, pasti familiar dengan nomenklatur profesor dan guru besar. Aku menghampiri bocah yang memantik perhatianku karena berpakaian ala Pak Sakera. Maaf,bias primordial. Pada hari itu, yang bertepatan dengan Hardiknas, anak-anak MI Khadijah berpakaian adat. “Karena profesor ilmunya banyak,” jawab bocah tadi saat kutanya mengapa ingin jadi progesor. Lain lagi jawaban bocah yang berpakaian adat Jawa. “Profesor bisa jalan-jalan,” katanya. Ah,benar juga bocah ini. Sebab aku juga beberapa kali jalan-jalan.
Aku yakin, 120 anak-anak yang berwajah bersih, cantik, ganteng, cerita, bisa melampaui apa yang kerengkuh pada saat ini. Mengapa? Mereka berasal dari keluarga, mungkin sebagian besar dari kelas menengah. Fasilitas pendidikan meteka juga melimpah. Beda dengan fasilitas madrasahku “tempoe doeloe”. Tapi aku beruntung, para guruku memiliki semangat membaja, kendati apa yang diterima saban bulannya, jauh dari cukup.
Dila, kawanku di Sahabat PUSAM, senang menghayati peran sebagai guru di Aceh pedalaman lewat skim Indonesia Mengajar. Apakah sekolah dimana dia mengajar, sama dengan sekolah Laskar Pelangiku. Dila, berceritalah kepada kami.
Bilik 418, malam keempat, (4/5/2016)
Kolom Prof Syamsul Arifin, Guru besar dan Wakil Rektor 1 Universitas Muhammadiyah Malang