PWMU.CO – Bagaimana sebuah organisasi dakwah yang tidak menjadi organisasi politik bisa berpolitik? Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti mengatakan, dalam konteks ini Muhammadiyah bisa melakukan peran-peran politiknya melalui tiga cara.
Hal tersebut dia ungkapkan dalam diskusi panel dengan tema Politik Nilai dan Peradaban Bangsa, dalam Kajian Ramadhan 1439 H, di Dome UMM, Sabtu (19/5/18).
Peran-peran politik Muhammadiyah, kata Mu’ti, setidaknya dilakukan dalam tiga cara. Pertama, Muhammadiyah bisa berperan menjadi opinion maker, yakni sebagai kelompok yang senantiasa mengemukakan gagasan-gagasan politiknya, pemikiran-pemikiran kenegaraan dan keterlibatan Muhammadiyah untuk kemajuan bangsa dan negara.
“Muhammadiyah dalam sejarahnya telah memberikan peran dan sumbangan besar bagi bangsa ini. Itu harus diakui. Pembukaan UUD 45 misalnya, adalah sumbangsih dari pemikiran tokoh Muhammadiyah, yakni Ki Bagus Hadi Kusumo,” katanya di hadapan ribuan pimpinan Persyarikan se-Jatim.
Termasuk menurut Mu’ti, politik kebangsaan Muhammadiyah tercermin dari tema Indonesia Berkemajuan dalam Tanwir Samarinda, serta konsep Darul Ahdi wa Syahadah pada Muktamar di Makassar.
Kedua, Muhammadiyah bisa berperan seperti seorang playmaker politik. Sebaliknya, Muhammadiyah tidak perlu menjadi sebagai seorang player (pemain) politik.
“Muhammadiyah bisa menjadi seorang Zinadine Zidane yang bisa mengatur permainan, meski ia tidak langsung turun bermain. Bukan sebaliknya menjadi Muhammad Salah, pemain Liverpool, yang turun langsung bermain dan memenangkan permainan,” urainya.
Dengan menjadi playmaker, Muhammadiyah bisa memainkan politik dengan tidak bermain politik. Muhammadiyah bisa memainkan lobbies grup melalui silaturahim. “Tidak menggunakan politik megaphone, speaker, apalagi, loudspeaker. Politik Muhammadiyah adalah silent operation. Pendekatan persuasif dan personal. Sebab politik itu substansinya lobi. Menyebarkan kadernya sebagai political network,” ujarnya.
Ketiga, lanjut dia, Muhammadiyah bisa menjadi kelompok penekan atau grup presseur. Dijelaskan, dalam kasus judicial review beberapa undang-undang misalnya, Muhammadiyah bisa berperan efektif sebagai pressure grup.
“Muhammadiyah berperan sebagai pressure grup dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip moralitas dan integritas,” ungkapnya.
Mu’ti menegaskan Muhammadiyah berpolitik untuk menegakkan negara. Bukan untuk membela mati-matian pemerintah. Sebab, pemerintah itu kapan pun bisa datang dan pergi.
“Muhammadiyah tidak mendukung orang untuk menduduki jabatan. Tapi Muhammadiyah hanya mendukung orang menduduki kepemimpinan yang erat hubungannya dengan integritas serta kemuliaan,” tandasnya. (Aan/Das)
Discussion about this post