PWMU.CO – Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia) Yudi Latif MA PhD mengatakan jika Nasyiatul Aisyiyah ikut memperkuat konektivitas nasional.
“Temen-temen ini kan sedang berkumpul dari ujung barat hingga timur Indonesia, berarti temen-temen sekarang secara tidak langsung memperkuat konektivitas nasional,” tuturnya di hadapan peserta Short Diplomatic Course, di Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng, Jakarta, Kamis (11/10/18).
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PP NA) ini, dia berpendapat, bangsa ini banyak berhutang budi pada asosiasi agama lintas etnis seperti Nasyiatul Aisyiyah (Nasyiah), yang berhasil menjahit integrasi nasional.
“Nasyiah ini, meski tidak datang atas nama negara, tapi perjuangan saudara-saudara ini secara tidak langsung membentuk konektivitas jiwa dan mind yang menguatkan rasa integrasi nasional,” ujarnya.
Pria asal Sukabumi ini menegaskan konektivitas itu penting dan lebih dari sekadar infrastruktur teknis.
“Dulu Sumpah Pemuda itu pemuda dari Ambon datang ke Jakarta bertemu dengan pemuda dari sungai-sungai primordial lainnya butuh waktu berbulan-bulan. Tapi berhasil, karena mereka punya konektivitas rasa,” tegasnya.
Menurutnya, institusi sosial yang bisa menjadi jembatan negara untuk menguatkan wawasan kebangsaan dalam diri warga negara dengan aneka perbedaan adalah Muhammadiyah.
“Bagi saya, satu institusi sosial yang bisa menaklukkan perbedaan dari ujung Sabang sampai Merauke adalah kelompok agama yang paling modern dan sebarannya paling luas. Itulah Muhammadiyah,” jelasnya.
Penulis buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila ini menjelaskan roh konektivitas adalah musyawarah, yang tertuang dalam prinsip demokrasi sila keempat Pancasila.
“Sila keempat itu diapit sila ketiga dan kelima. Demokrasi itu diapit persatuan dan keadilan. Maka, demokrasi harus memperkuat persatuan dan mengarah pada keadilan sosial,” jelasnya.
Dia menambahkan, lima isu strategis pembinaan ideologi Pancasila di antaranya pemahaman Pancasila, inklusi sosial, dan keadilan sosial.
“Isu keempat adalah pelembagaan Pancasila, dan keteladanan Pancasila menjadi isu strategis terakhir,” imbuhnya.
Yudi mengingatkan inklusi ekonomi yang dulu diperjuangkan Muhammadiyah dapat menjadi langkah strategis dalam menjawab tantangan kebangsaan masa kini.
“Maka DNA itu harus dibalikin. DNA Muhammadiyah dulu adalah pedagang. Generasi-generasi muda Muhammadiyah ini harus mengaktifkan kembali sel-sel DNA dagang itu. Kita harus masuk ke sektor produktif melalui inklusi ekonomi,” ungkapnya. (Ria Eka Lestari)
Discussion about this post