PWMU.CO – Meski pemerintah sudah mencoba untuk menjelaskan kepada publik, keinginan segera memindahkan ibu kota ke Kaltim masih terus disoal. Masalahnya memindah ibukota tentu tidak sesederhana yang dibayangkan. Banyak masalah yang harus disoal, mulai dari urgensi, undang-undang, anggaran, teknis, faktor sosiologis dan tak kalah penting juga historis.
Dari sisi anggaran saja kebijakan prestisius—untuk tidak mengatakan ambisius—ini membutuhkan dana dalam jumlah fantastik, Rp 466 triliun. Jumlah itu kurang lebih seperempat dari total belanja pemerintah pusat 2019, yaitu Rp 1634.3 triliun. Di tengah kondisi ekonomi nasional yang belum mapan dan utang negara yang sudah sedemikian mencekik, tentu anggaran tersebut menjadi terasa besar.
Di tengah negara sedang dihadapkan the great disruption, perubahan cepat dan luas ditandai dengan perkembangan ekonomi global yang kian tidak menentu, pantas jika banyak yang mempertanyakan basis wisdom dari kebijakan memindah ibu kota tersebut. Apalagi yang diminta dalam waktu relatif cepat: tahun 2024 impian itu harus sudah terlaksana.
Pemerintah sebenarnya tahu bahwa negara ini tengah menghadapi situasi global yang unpredictable akibat berbagai krisis global seperti Brexit, memanasnya geopolitik India-Pakistan, juga kekerasan di Hongkong yang masih memanas hingga sekarang. Tak kalah gentingnya adalah the global trade-war yang melibatkan dua super power, Amerika Serikat dan China. Disadari sejumlah negara, termasuk Indonesia, menerima dampak buruknya. Tetapi banyak yang bertanya, kenapa situasi global yang sedang tidak menentu ini tidak dijadikan bahan pertimbangan untuk menunda ambisi pindah ibu kota. Bank Dunia saja memandang perlu merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 2,9 persen menjadi 2,6 persen saja.
Juga dalam kondisi di dalam negeri masih menghadapi berbagai persoalan genting. Pembelahan masyarakat, vertikal dan horizontal, belum terpecahkan dengan baik. Pembelahan yang memunculkan intoleransi dan konflik politik identitas selama ini sebenarnya lebih disebabkan karena faktor ketimpangan.
Indeks gini rasio 0,39 belum cukup dijadikan modal untuk membangun kebersamaan dan saling pengertian. Kecemburuan sosial masih mudah terjadi. Masyarakat yang terdeprivasi, mudah dikonspirasi untuk melakukan kekerasan.
Menyusul Papua mengancam untuk memisahkan diri. Tuntutan mereka kian nyaring setelah merasa memperoleh dukungan beberapa pihak di dunia internasional. Hingga tulisan ini dibuat, belum terasa kehadiran negara dalam penyelesaian masalah Papua. Oleh karena itu, penyelesaian masalah Papua dan juga pembelahan masyarakat itu tentu jauh lebih urgen daripada pemindahan ibu kota. Penyelesaian masalahnya bukan memindah ibu kota, tetapi memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Patut dicatat bahwa pemindahan ibu kota, seperti penelitian yang dilakukan INDEF tidak berdampak positif terhadap PDB riil nasional, kecuali perkembangan PDB riil regional lokasi pemindahan ibu kota. Bahkan perpindahan itu menstimulus turunnya jumlah output sektoral hampir di semua sektor atau industri, di provinsi maupun nasional.
Demikian juga, perpindahan ibu kota tidak berdampak terhadap perbaikan pertumbuhan dan indikator ekonomi makro. Sehingga dalil perpindahan ibu kota sebagai treatmen untuk pemerataan tidak bisa dijadikan dasar. Jika pemerataan tetap tidak memperoleh sentuhan semestinya, ketimpangan sebagai sumber pembelahan masyarakat tidak akan bisa dipecahkan.
Suhadi dalam bukunya Recollections of My Career (1996) mengatakan apabila ambisi politik melebihi kapasitas ekonomi, maka ekonomi bisa ambruk. Kondisi semacam itu telah dialami oleh pemerintah Soekarno pada paruh pertama 1960. Pemerintah pada masa awal kemerdekaan, dimulai dengan penuh harapan, namun kemudian berakhir dengan kemelut ekonomi dan sosial.
Seperti dicatat Thee Kian Wee dalam memberi pengantar buku Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, Presiden Soekarno yang sempat dielu-elukan sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia dan seorang di antara dua proklamator kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 bersama Mohammad Hatta, kemudian kehilangan pamornya dan akhirnya jatuh.
Permasalahannya, mengutip laporan Legge dalam bukunya Sukarno A Political Biography (1972), Thee Kian Wee menyatakan bahwa Presiden Soekarno tidak begitu peduli terhadap upaya mencari saran-saran ekonomi yang memungkinkan pemerintah mengatasi masalah-masalah yang sesungguhnya sedang dihadapi. Pemerintah sibuk menyelesaikan revolusi Indonesia dan yang jelas menyita energi waktu itu adalah ajakan untuk mengganyang nekolim Malaysia. Pemerintah lalu kurang memperhatikan kebijakan pembangunan ekonomi yang sehat.
Hal serupa diulang oleh pemerintahan Soeharto. Ambisi politik melebihi kapasitas ekonomi, akhirnya bukan hanya ekonomi tetapi rezimnya itu sendiri yang ambruk. Pemerintahan Soeharto memulai dengan berbagai kebijakan yang memang menjawab tuntutan masyarakat. Mereka bangun fundamental ekonomi dengan melakukan politik berbasis ekonomi rakyat. Semboyan perut kenyang rakyat tenang melahirkan politik beras. Pada awal pemerintah Orde Baru negeri ini berhasil tumbuh menjadi negara berswasembada beras.
Tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, pemerintahan ini kemudian semakin akrab dengan IMF yang membawa kebijakan liberal. Mereka tidak memperkuat fundamental ekonomi rakyat. Kebijakan IMF lebih menguntungkan para pemburu rente yang umumnya bermoral hazard dan membawa Indonesia terjebak menjadi negara penghutang besar.
Siklus bisnis di negeri ini kemudian jatuh di tangan pemburu rente bermoral hazard yang menjadikan fundamental ekonomi Indonesia rapuh dan tidak mampu menopang kebijakan politik rezim. Begitu krisis moneter muncul, menyapu pilar ekonomi politik dan secara tak terelakkan lalu meruntuhkan pemerintahan Soeharto. Ada yang bilang Soeharto take off dengan cara yang benar, tetapi kemudian landing dengan cara yang salah.
Walhasil ambisi memindahkan ibu kota, bukan tidak mungkin dilakukan. Namun berbahaya jika terlalu ambisius, sehingga perpindahan ibuvkota terkesan diambil berdasar keputusan politik dan mengesampingkan berbagai faktor fundamental siklus bisnis dan ekonomi nasional. Jangan sampai negara ini lemah, karena ambisi politik melebihi kapasitas ekonomi. Oleh karena itu, penguatan kapasitas ekonomi harus menjadi prioritas.
Pemanfaatan infrastruktur yang ada, penciptaan lapangan kerja, penguatan sumber daya manusia, memperkuat ketahanan pangan, perbaikan iklim investasi sebagaimana yang disarankan sejumlah ahli kiranya lebih layak mendapat perhatian dari pada memindah ibukota.
Jadi memindah ibu kota? Ambisi boleh, ambisius jangan! (*)
Kolom Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, Anggota DPR RI Fraksi PAN terpilih 2019 dan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya 2003-2012.
Discussion about this post