PWMU.CO-Nama hari dalam kalender Hijriyah memakai urutan angka dalam bahasa Arab. Ahad, Itsnaini, Tsulatsa, Arba’a, Khomsah. Tapi hari keenam mestinya Sittah atau Sadisah ternyata dinamakan Jum’ah.
Mengapa demikian? Begini awal mulanya. Tradisi kalender masyarakat Arab sejak lama memakai patokan bulan mengitari bumi (lunar). Hari baru dihitung setelah Magrib yakni muncul bulan. Satu tahun terdiri 12 bulan, satu bulan terdiri 29 atau 30 hari, dan satu pekan terdiri tujuh hari.
Tujuh hari itu di masa awalnya orang Arab dan penduduk Mekkah menamai hari sesuai dengan tradisi. Awwal (Ahad), Ahwan (Itsnaini), Jubar (Tsulatsa), Dubar (Arbaa), Mu’nis (Kamis), dan ‘Arubah (Jum’ah), Syiyar (Sabtu).
Lima hari pertama waktunya orang bekerja. Mereka yang pedagang berangkat mencari dan menjual barang, penyair berangkat menyepi ke lembah dan gunung menggubah syair, penyihir mencari ilmu baru, petani mulai mengerjakan tanah, peternak mencari padang gembalaan.
Mereka pulang kampung pada hari Mu’nis untuk siap-siap merayakan hari ‘Arubah. Arti ‘Arubah adalah berbangga-banggaan. Sebab di hari itu semua orang berkumpul membanggakan pekerjaan dan dirinya.
Dulu Jumat Disebut Arubah
Di hari itu pedagang memamerkan barang dagangannya, peternak membawa hewannya, wanita-wanita berhias diri agar tampak cantik, pemuda-pemuda keluar mencari jodoh, penyair membacakan syair ciptaannya. Syair terbaik dipilih untuk disulam menghias kiswah Kakbah, penyihir muncul dengan kesaktian barunya.
Hari ‘Arubah pada perkembangannya berubah nama menjadi Jum’ah. Artinya hari berkumpul. Perubahan nama itu setelah ada tradisi berkumpul di rumah Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib, masanya tujuh generasi di atas Nabi Muhammad saw.
Saat orang-orang berkumpul untuk mendengarkan khotbah, wejangan dari Ka’b bin Lu’ay, sesepuh masyarakat Quraisy. Kebiasaan ini akhirnya diwariskan turun temurun hingga dijadikan hari besar. Hari berkumpul itu juga dirayakan dengan membuka pasar, berdandan, dan keramaian lainnya.
Di zaman Islam, hari Jum’ah diubah landasan teologisnya. Bukan sekadar perayaan hura-hura tapi diperintahkan untuk melaksanakan shalat Jumat sesuai sebutan hari waktu itu. Seperti disebutkan dalam surat Al Jumu’ah ayat 9-11.
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.
Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan,” dan Allah pemberi rezeki yang terbaik.
Masa Umar Nama Jumat Tetap Dipakai
Riwayat lain juga menceritakan perubahan nama menjadi Jum’ah dilakukan penduduk Yatsrib atau Madinah sebelum Nabi Muhammad hijrah di kota itu. Menurut kitab Sirah Ibnu Hisyam yang meriwayatkan cerita dari Ka’ab bin Malik mengatakan, orang yang pertama kali mengadakan shalat Jumat adalah Abu Umamah As’ad bin Zurarah.
Shalat Jumat berlangsung di Hazm An Nabit di tanah berbatu Bani Bayadzah yang bernama Naqi Al Khidzamat. Jumlah jamaah yang ikut shalat 40 orang.
Shalat ini terus berlangsung hingga turunnya surat Al Jumu’ah yang sudah menyebutkan kata Jum’ah yang sudah dipahami masyarakat dan menceritakan di hari itu ada orang-orang berkumpul untuk berdagang dan menggelar permainan.
Sedangkan nama-nama hari lainnya berubah di masa Khalifah Umar bin Khaththab saat menyusun kalender Hijriyah. Umar menetapkan nama hari Awwal, Ahwan, Jubar, Dubar, Mu’nis, Jum’ah, Syiyar diganti dengan nama Ahad, Itsnaini, Tsulatsa, Arba’a, Khomis, Jum’ah, dan Sabat.
Ahad hingga Khomis menurut urutan angka. Nama Jum’ah tetap dipakai sesuai tradisi yang sudah disahkan Alquran. Sedangkan nama Sabat ada yang menafsirkan dari kata Sab’atun, artinya tujuh. Itu jika terdiri dari huruf sin ba’ dan ‘ain.
Tapi ada yang berpendapat itu berasal dari kata Sabath, seperti hari milik orang Yahudi yang artinya istirahat.
Kalender Yahudi menamakan hari juga berdasarkan urutan angka. Dimulai Yom Rishon, Hari kesatu. Yom artinya hari. Sama dengan yaum dalam bahasa Arab. Bahasa Ibrani menyebutnya juga Echad. Maknanya satu.
Hari berikutnya terus berurutan Sheni, Shlishi, Revi’i, Khamisa, Shishi, dan Sabbath. Artinya kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, dan istirahat.
Penamaan hari dengan urutan angka itu mendasarkan pada penciptaan langit dan bumi selama enam hari seperti diceritakan kitab suci. Hari ketujuh istirahat yang disebut Sabat. Hari libur untuk sembahyang dan memuji Tuhan. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post