KH Abdurrahman Syamsuri, hafidh Quran pendiri Pondok Pesantren Karangasem, Paciran, Lamongan.
PWMU.CO – Ia lahir di Desa Paciran, Lamongan, pada 1925. Ayahnya bernama Syamsuri dan ibunya Walijah. Ayahnya bekerja sebagai petani di samping mengajar agama.
Ia lahir di kalangan keluarga santri. Kakeknya bernama Idris, seorang kiai yang cukup terkenal di Kecamatan Paciran, kemudian menurun kepada anaknya yang bernama Syamsuri.
Abdurrahman adalah putera kedua dari tujuh bersaudara. Ia memiliki keistimewaan dibanding saudara-saudaranya. Di samping cerdas, ia juga memiliki kemauan yang tinggi untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama, serta punya keberanian dalam menghadapi tantangan yang terjadi. Dalam pengembaraannya sering kali ia berpuasa karena minimnya nafkah yang diterima dari orangtuanya.
Hafal Al-Quran dalam Tujuh Bulan
Sejak kecil ia mendapatkan didikan agama dari orangtua dan kakeknya. Berkat ketekunanya, saat usia 15 tahun ia telah hafal al-Quran dalam waktu tujuh bulan. Setelah merasa cukup belajar dari orangtuanya, ia meneruskan sekolahnya di Pondok Kranji, yang merupakan salah satu pusat pendidikan tradisional di wilayah Kecamatan Paciran.
Setelah tiga tahun, ia dinyatakan tamat dari pondok tersebut. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Tunggul, Kecamatan Paciran, di bawah asuhan Kiai Amin, seorang kiai yang terbilang awal dalam memperkenalkan pikiran maju dan mati syahid di tangan penjajah Belanda.
Ia menempuh pendidikan di pondok tersebut selama tiga tahun (1938-1940). Di pondok ini ia memperdalam ilmu alat, seperti nahwu dan sharaf, di samping tafsir dan ilmu hadits.
Di sinilah ia merasakan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak diberikan dalam hal akidah dan ibadah. Juga, ia mendapat pelajaran syarah hadits dan tafsir al-Quran secara gamblang. Pelajaran seperti itu hampir tidak diberikan di pondok lain pada zaman tersebut.
Bahkan ada semacam pendapat pada zaman itu bahwa penafsiran al-Quran dan syarah hadits adalah haram. Dalam ceramah-ceramahnya, Kiai Amin menjelaskan Islam sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Isi ceramah Kiai Amin banyak mengundang kritik dan kecaman dari para ulama yang belum bisa menerima faham-faham baru.
Kiai Abdurrahman adalah salah seorang santri yang disayang oleh Kiai Amin. Tidak jarang ia diajak oleh gurunya itu berkeliling untuk berdakwah di daerah sekitar, bahkan kadang-kadang menjadi penceramah pengganti. Kesempatan ini digunakan olehnya sebagai ajang berlatih dalam berdakwah.
Pengembaraannya dalam mencari ilmu tidak berhenti sampai di situ. Ia meneruskan belajar di sebuah pesantren di Tulungagung dari 1940 sampai dengan 1944. Setelah itu ia menjadi santri di Pesantren Tebuireng pada 1944-1945. Kemudian, ia berpindah ke Pesantren Kedunglo, Kediri, pada 1945-1946.
Awal Keterlibatan di Muhammadiyah
Melihat latar belakang pendidikannya, bisa dipahami bahwa Kiai Abdurrahman sejak kecil dan selama masa pengembaraannya berfikiran Islam tradisional. Sejak kapan pikiran pembaharuannya terbentuk tidaklah jelas. Tetapi, ia telah muncul di permukaan sebagai kiai yang berpaham Muhammadiyah sejak awal tahun 1960-an. Pada masa itu pun, ia masih sering menggunakan cerita-cerita Israiliyyat dalam pengajian-pengajiannya.
Namun demikian, sejak keterlibatannya semakin intens dalam gerakan Muhammadiyah, cerita-cerita semacam itu sudah ditinggalkan. Ia mendirikan dan sekaligus mengasuh Pesantren Karangasem di Paciran sampai akhir hayatnya.
Ia juga pernah menjabat Direktur Pendidikan Guru Agama (PGA) pada tahun 1956; menjadi anggota Majlis Tarjih PP Muhammadiyah sejak tahun 1978; menjadi anggota Tanwir Muhammadiyah 1979-1984; pernah juga menjadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan pada 1977-1982.
Di luar Muhammadiyah, ia menjadi pengurus bagian pendidikan pada Ittihad al-Ma’ahid al-Islamiyyah, sebuah lembaga yang berafiliasi pada Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Kecuali itu, ia menjadi penasihat Masjid Taqwa Paciran dan anggota Dewan Pembina Qari’ dan Qari’ah tingkat Provinsi Jawa Timur di samping keanggotaannya dalam kepengurusan MUI Jawa Timur.
Ia meninggal dunia pada Kamis, 27 Maret 1997 dalam usia 72 tahun di Paciran, Lamongan akibat penyakit gula yang dideritanya sejak lama. (*)
Co-Editor Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini berjudul asli KH Abdurrahman Syamsuri (1925-1997) Pendiri Ponpes Karangasem. Dimuat ulang PWMU.CO atas izin Penerbit: Hikmah Press dari buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur, Editor Nadjib Hamid et all.