Guru Menulis, Jeneng Dulu Baru Jenang, laporan Sayyidah Nuriyah, kontributor PWMU.CO Gresik.
PWMU.CO – Guru Menulis: Jeneng Dulu Baru Jenang. Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Diponegoro Mohammad Rosyidin SSos MA mengungkapnya dalam Research Conference bertema “Make a Fun Research for Teacher”, Sabtu (15/1/2022) pagi.
Acara yang digelar melalui Zoom ini bagian dari Road to Milad Ke-7 SMA Muhammadiyah 10 GKB (Smamio) Gresik yang mengusung tema Go Beyond, 22 Januari 2022 mendatang. Dalam momen itu, hadir pula Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr Arbaiyah Yusuf MA.
Rosyidin—panggilan akrabnya—sepakat dengan pernyataan Arbaiyah, bahwa guru juga bisa menjadi peneliti. Kemudian dia menambahkan, “Guru tidak hanya sebagai peneliti, tapi juga sebagai penulis.”
Pada hakikatnya, kata dia, guru dan dosen sama saja. Pertama, sebagai pendidik, sama-sama mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik. Kedua, sama-sama sebagai scientist. Maka, dunia tulis-menulis tidak bisa dipisahkan dengan profesi guru maupun dosen.
Pentingnya Menulis
Rosyidin pun mengajak peserta pelatihan untuk membuka pikiran tentang pentingnya menulis. Pertama, di Indonesia—berbeda dengan budaya Barat—lebih dominan budaya tutur daripada budaya tulis. “Kita terbiasa nongkrong, ngobrol,” ujarnya.
Kedua, masyarakat Indonesia lebih bermental pengekor atau konsumen, bukan inventor atau inovator. “Kita cenderung memakai atau menikmati sumber-sumber yang ada,” ungkapnya. “Lebih suka mengutip sumber-sumber pustaka yang ditulis ilmuwan-ilmuwan negara maju,” imbuhnya.
Ketiga, dia menekankan ungkapan Arbaiyah bahwa menulis bagian dari peradaban, di mana karya tulis mencerminkan tingkat peradaban suatu bangsa. “Guru sebagai peneliti sekaligus penulis itu bagian integral dari proses membangun peradaban,” tutur penulis 10 buku itu.
Menurutnya, kita sering silau dengan hal-hal kasat mata untuk mengukur kemajuan bangsa. Misal, gedung pencakar langit. “Tapi kita abai terhadap hal intangible, yaitu seberapa maju perkembangan ilmu di negara tersebut,” tegasnya.
Padahal, lanjutnya, awal peradaban ditandai dengan penemuan tulisan. “Tonggak sejarah itu ketika ditemukannya sumber tertulis,” jelas lulusan Universitas Gadjah Mada itu.
Kemudian, dia menekankan, menulis dan membaca bagaikan dua sisi koin, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dia menarik kesimpulan, kalau gemar membaca, mestinya juga gemar menulis. “Orang gemar membaca itu kan punya knowledge (pengetahuan) melimpah. Seyogyanya dishare atau disebarluaskan melalui tulisan,” terangnya.
Baca sambungan di halaman 2; Gaya Menulis
Discussion about this post