Sarjana Tukang Stempel; Kolom oleh M. Anwar Djaelani, peminat masalah sosial-kemasyarakatan dan penulis sepuluh buku.
PWMU.CO – Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini dipantik oleh berita “Perpu Cipta Kerja Terbit, Eks Ketua MK: Dicari Alasan Pembenaran oleh Sarjana Tukang Stempel” (nasional.tempo.co).
Di berita itu, Jimly Asshiddiqie, Ketua MK pertama, periode 2003 sampai 2006, mengkritik tindakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menerbitkan Perpu Cipta Kerja. Jimly mengingatkan bahwa pembentuk Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah DPR, bukanlah presiden seperti era sebelum reformasi.
Lebih jauh, perhatikan pernyataan lugas ini: “Perpu ini jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenaran oleh sarjana tukang stempel,” kata Jimly pada 4 Januari 2023.
Tentu saja, atas pernyataan kritis Jimly di atas, bukan tak mungkin banyak yang penasaran. Adakah sarjana tukang stempel? Jika ada, siapa sajakah mereka?
Dua Wajah
Masih di berita yang sama, ada yang menggelitik hati. Mari cermati ucapan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md. Dia menyatakan senang dengan banyaknya kritik terhadap Perpu Cipta Kerja. Namun, Mahfud menyebut yang bisa diperdebatkan dari beleid tersebut adalah isinya, bukan prosedur penerbitannya.
“Saya melihat memang ‘kan reaksinya datang dari akademisi, ya, sudah bagus. Saya juga akademisi, mungkin saya kalau tidak jadi Menteri ngeritik kayak gitu. Tetapi saya katakan, kalau secara teori udah enggak ada masalah, jangan mempersoalkan formalitasnya, prosedurnya, itu sudah sesuai,” ujar Mahfud.
Mari simak pernyataan Mahfud. Pertama, Mahfud menyebut yang bisa diperdebatkan dari beleid (kebijakan/keputusan) tersebut adalah isinya, bukan prosedur penerbitannya. Pernyataan ini, aneh! Bahwa dalam pembuatan peraturan perundang-undangan “isi” dan “cara”-nya, keduanya harus benar. Di titik ini, jika Jimly yang pakar hukum dan mantan Ketua MK keras mengritik maka kita percaya memang ada yang tak benar di balik terbitnya Perpu Cipta Kerja itu.
Kedua, Mahfud bilang: “Saya juga akademisi, mungkin saya kalau tidak jadi Menteri ngeritik kayak gitu.” Sungguh, pernyataan ini tak kalah aneh. Terasakan, publik diminta memahami bahwa ada dua Mahfud, yaitu Mahfud sebagai Menteri dan sebagai akademisi.
Memang, masyarakat tahu siapa “asli”-nya Mahfud. Dia seorang dosen. Di situs ikatan alumni UII disebutkan bahwa sejak tahun 1984, Mahfud dikenal sebagai sfat pengajar dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII).
Kembali ke pernyataan Mahfud di berita itu. Adakah dasar yang merekomendasikan bahwa saat kita menghadapi masalah maka sebagai pribadi boleh punya dua sikap yang berbeda yaitu tergantung posisi kita di saat itu? Sedang berada di “wilayah” manakah kita saat itu?
Jika boleh, maka alangkah buramnya wajah sekitar kita. Lihat, misalnya, sikap Si A akan berbeda ketika dia sedang di masjid dan saat dia di pasar. Sikap Si B akan berbeda saat dia sedang di rumah dan ketika dia sedang di kerumunan sebuah pertunjukan gratis.
Posisi Intelektual
Sarjana, masuk dalam golongan intelektual. Tentang posisi intelektual, ada yang berharga untuk kita ingat, yaitu pidato pengukuhan Cornelis Lay sebagai Guru Besar Fisipol UGM pada 6 Februari 2019.
“Bagi saya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan” (https://repository.ugm.ac.id).
Catatlah, ini ujian intelektual: Bisakah di saat dia dekat bahkan menjadi bagian dari kekuasaan tetap bisa berpikir bebas dan bijak dalam bingkai mengedepankan kepentingan umum?
Intelektual yang dekat bahkan menjadi bagian dari kekuasaan, memang sedang menjalani ujian yang tidak mudah. Di saat-saat itu, tak sedikit intektual yang gagal memosisikan dirinya untuk hanya mengabdi kepada sesama berdasarkan kebenaran yang bersifat universal.
Lebih dua puluh tahun lalu, yaitu pada 12 Juni 2000, tulisan saya dimuat Jawa Pos. Judulnya, “Menangisi Intelektual yang Tergelincir”. Kurang-lebih, di tulisan itu ada gambaran beberapa intelektual yang perlu dikritisi karena sikapnya.
Pertama, ada intelektual yang dituding provokator karena saat memandu sebuah acara diskusi yang disiarkan semua stasiun TV, dia bukan saja dianggap memihak partai tertentu bahkan dianggap melakukan provokasi. Padahal, sebelumnya, sempat ada yang menyebut dia sebagai moderator terbaik di kala itu.
Kedua, ada intelektual yang aktif di politik jatuh pamornya di mata seseorang yang sebelumnya menaruh hormat. Itu terjadi setelah si intelektual, dalam catatan orang tersebut, dapat mengucapkan kebohongan-kebohongan.
Ketiga, ada intelektual yang setelah mendapat jabatan, sejumlah sikapnya cenderung tak lagi kritis. Padahal, sebelumnya dia dikenal sebagai kolumnis yang “tajam”.
Kembali kepada pokok masalah, adakah sarjana tukang stempel? Silakan jawab sendiri. Silakan memberi penilaian sendiri atas performa banyak sarjana atau intelektual terutama yang sedang dekat bahkan yang sedang berada di lingkar inti kekuasaan. Berubahkah mereka?
Mari menunduk. Kita hayati lagi sebaris gumam lirih ini: Intelektual yang dekat bahkan ada di pusat kekuasaan, memang sedang menjalani ujian yang tidak mudah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post