PWMU.CO – Buku Tak Kenal maka Taaruf, salah satu karya Mim Yudiarto, dibedah langsung oleh Guru Besar Bidang Bahasa dan Sastra Indonesia UMM Prof Dr Joko Widodo MSi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu (28/2/2024).
Menurut Prof Joko Widodo, terdapat keunikan dalam karya sastra saat ini. “Adanya pembelokan diksi pepatah yang saat ini dapat diartikan menjadi hal yang baru,” terangnya.
Menurutnya, itu bukan menjadi suatu masalah apabila diksi tersebut membangun. “Pepatah itu dibelokkan. Misalnya dari ‘tak kenal maka tak sayang’ menjadi ‘tak kenal maka taaruf’,” contohnya.
Bisa juga menghasilkan tafsir yang berbeda. “Misalnya ‘masih belum kenal, ya kenalan’. Ini menjadi segmen yang membedakan cara pandang generasi lama era 80-90-an dengan era gen Z saat ini,” tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan pembedah buku lainnya. Prof Dr Setya Yuwana MA, mengatakan, “Setiap masa pasti ada sastrawan yang menjadi sosok idola. Seperti dahulu di tahun 1976-1980 yang mana merupakan era dari Ashadi Siregar dengan karya Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Ali Topan Anak Jalanan dan lainnya.”
Ia yakin, zaman dahulu juga punya gaya penulisan dan bahasa yang memang relevan pada era itu. Saat ini pun juga demikian. Bentuk karya sastra juga mengalami perkembangan gaya tata bahasa dan minat yang berbeda.
“Sekarang ini eranya gen Z, ya tentu sudah berbeda dengan zaman dulu. Banyak inovasi dan nilai-nilai yang relevan dalam sebuah karya masa kini,” imbuhnya.
Latar Penyusunan Karya
Buku ini memang sukses menarik banyak perhatian peserta yang turut hadir. Saat mulai bicara, Mim mengungkap rasa kagum karena giat Goes to Campus bukunya di UMM menjadi acara yang paling meriah di antara yang lain.
“Saya sudah berkunjung ke ISI Yogya, ISI Solo, IPB, dan lainnya. Alhamdulillah ini yang paling meriah dan ramai. Apalagi dengan konsep yang menarik seperti ini,” ungkapnya.
Pada kesempatan itu, Mim membahas latar belakang penyusunan karyanya. Novel itu nantinya diproyeksikan menjadi film. Kelahirannya bermula dari tantangan menciptakan novel yang bergenre sulit. Yakni cerita yang di dalamnya memuat nuansa religi, romansa, komedi, dan memiliki nilai edukasi.
“Saya awalnya ditantang oleh mas Fajar Bustomi, seorang sutradara dari film Dilan. Banyak sekali syarat yang diminta, utamanya terkait target pasarnya. Yaitu kalangan mahasiswa pranikah. Saya diberi waktu satu bulan untuk menyelesaikan project itu. Saya tertantang dan akhirnya selesai hanya dalam waktu delapan hari saja,” ceritanya.
Pria asal Banyuwangi itu juga memberikan beberapa tips kepada penulis muda dan pemula dalam menulis buku. Ia menekankan, karya sastra itu tidak bisa langsung dinilai bagus atau tidaknya. Jangka waktu pengerjaan juga tidak dapat ditentukan dengan deadline tertentu, terlebih sastra adalah karya mengolah rasa dan imajinasi.
“Penulis muda atau pemula itu kebanyakan berpikir tentang bagus tidaknya karya yang dibuat. Padahal sejatinya, karya sastra yang bagus adalah karya yang tuntas. Jangka waktu pengerjaan juga berbeda-beda tiap buku. Saya punya buku yang rampung dalam waktu yang cukup lama, yakni dua tahun,” kata Mim. (*)
Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post