Oleh Pradana Boy ZTF
PWMU.CO – Pertemuan dengan seorang pejabat dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (U.S. Department of State) di Gedung Kongres, kompleks Gedung Putih yang merupakan pusat pemerintahan federal Amerika Serikat itu, secara resmi menandai berakhirnya program kursus singkat selama enam minggu. Program Study of the U.S. Institute bidang Pemikiran Politik Amerika telah usai. Sebuah sertifikat berlogo U.S. Department of State telah pula diserahkan kepada masing-masing peserta. Ada sinaran rasa bahagia dan lega yang terpancar dari wajah masing-masing peserta. Pertemuan itu sekaligus dimaksudkan sebagai penutupan resmi program kursus singkat ini.
Namun ini bukan satu-satunya acara penutupan. Dua hari setelahnya, pihak panitia penyelenggara juga tak hendak kehilangan saat-saat istimewa ini. Sebuah acara makan malam perpisahan juga digelar. Bertempat di Restoran Banana Leaf yang kebetulan dikelola oleh orang Indonesia, di kawasan Dupont Circle, salah satu titik pusat keramaian di Washington D.C., makan malam perpisahan itu dilangsungkan. Malam itu penuh keharuan. Ucapan perpisahan silih berganti dinyatakan. Di sela-sela sajian aneka makanan Asia non-alkohol, kami pun kembali menerima dokumen. Kali ini, bahkan dua dokumen sekaligus diserahkan. Satu surat dari University of Massachusetts Amherst yang menjelaskan keberhasilan kami dalam merampungkan program; dan selembar sertifikat yang juga dikeluarkan oleh University of Massachusetts Amherst sebagai tanda bahwa kami telah lulus dalam program kursus singkat tentang American Political Development.
Saya menyangka, kedua dokumen itu sajalah yang diserahkan kepada kami. Namun rupanya ada sesuatu yang lebih mengejutkan. Panitia menyiapkan satu buku dengan judul yang berbeda-beda sebagai hadiah bagi semua peserta. Bagaimana judul buku itu dipilih? Beberapa kemungkinan jawaban bisa muncul. Pertama, pada saat awal-awal progam berjalan, ada satu sesi untuk perkenalan. Dalam tulisan berjudul Dari Tim-Tam, Kacang Afrika hingga Salmiakki saya telah bercerita tentang bagaimana perkenalan itu berlangsung. Namun, salah satu poin pentingnya adalah pada saat itu kami diminta untuk menyebutkan sebuah judul buku favorit. Dugaan saya, dari situlah lalu panitia menentukan judul buku yang akan diberikan kepada masing-masing peserta pada saat malam perpisahan itu.
(Baca: Belajar dari Amerika: Sebagai Simbol Negara, Presiden Harus Dihormati dan Di Depan Warga Persyarikatan, Ini Catatan Kritis Profesor Amerika terhadap Donald Trump)
Namun bisa juga dengan cara kedua. Bahwa dalam masa interaksi kurang lebih enam minggu tersebut, kami semua pada akhirnya saling tahu dan saling faham tentang latar belakang keilmuan, minat dan bahkan profesi masing-masing. Dus, jika seorang peserta ternyata menyebutkan sebuah buku favorit pada saat perkenalan, tetapi ia telah memiliki buku tersebut, panitia menggunakan cara kedua ini untuk memberikan hadiah buku yang sesuai. Saya termasuk ke dalam cara kedua ini. Pada saat berkenalan, saya menyebutkan buku The Death of Expertise, seperti yang telah saya ungkap panjang lebar dalam tulisan Buku di Tengah Kematian Para Pakar. Namun, karena panitia mengetahui saya telah memiliki buku tersebut, saya mendapatkan hadiah sebuah buku lain yang tak kalah dahsyat.
Buku itu berjudul Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders karya Denise Spellberg. Betapa saya terkesima. Betapa sebuah kebetulan yang luar biasa. Baru saja saya menyelesaikan sebuah artikel tentang Thomas Jefferson dengan mengutip buku itu dan artikel lain dari penulis buku tersebut setelah saya mengunjungi Monticello, rumah tinggal Thomas Jefferson semasa hidupnya; dan beberapa hari kemudian, buku itu telah menjadi milik saya. Sebelum mendapat hadiah itu, saya belum memiliki buku tersebut, karena saat merujuk buku itu, saya hanya membaca versi online. Maka menerima hadiah buku tersebut bukan hanya sebuah kehormatan besar bagi saya, tetapi juga sebuah kepuasan intelektual yang tak terkira. Dr. Mike Hannahan dan Dr. Lonce Bailey memberikan buku tersebut kepada saya. “Semoga kamu belum memiliki buku ini, sehingga hadiah ini sangat berarti bagimu,” demikian kata Lonce. “Buku ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana gagasan tentang Amerika dan toleransi agama dikembangkan pada masa awal,” kata Mike pula.
Enam minggu dalam kebersamaan telah menumbuhkan rasa persaudaraan yang erat di antara pribadi-pribadi dengan latar belakang ras, agama, ideologi dan orientasi yang tak sama itu. Dan, malam itu adalah akhir dari kebersamaan kami. Aylin, seorang profesor ilmu politik dari Istanbul, Turki, mengucap: “This is not the end of our friendship. Rather, it is a beginning for long cooperations and collaborations among us and our institution in the future.” Aylin benar. Persahabatan global di antara kami ini adalah awal mula bagi terciptanya jaringan global. Saya yakin, kami semua mendambakan perwujudan jaringan global itu pada masa justru ketika program ini resmi berakhir.
Oh ya, rasanya saya perlu sedikit berbagi cerita tentang salah satu budaya di Amerika yang patut diketahui oleh mereka yang ingin berkunjung ke Amerika Serikat. Pernahkah Anda mendengar tentang tipping? Tipping adalah memberikan tips kepada para pelayan di restoran atau sopir taksi atau bidang-bidang pelayanan jasa yang kita nikmati sebagai ucapan terima kasih. Maka, jika suatu saat Anda melakukan perjalanan ke Amerika Serikat, untuk urusan makan, misalnya, Anda harus selalu menyadari jenis tempat makan apakah yang sedang Anda datangi. Jika Anda makan di sebuah restoran, duduk manis di dalam restoran itu pada saat menikmati makanan, dengan pelayan yang datang menyajikan makanan di meja Anda, harus segera terfikir dalam benak Anda untuk memberikan upah tambahan (tips) kepada pelayan tersebut. Lalu berapa jumlahnya? Umumnya orang memberikan tips sebesar 10-20 persen dari total jumlah belanja yang kita keluarkan. Di beberapa restoran kecil bahkan terang-terangan terdapat tulisan di dinding: “Our staffs depend on your tips.” Maka, jika kita mengunjungi sebuah restoran dan menghabiskan USD20, setidaknya kita harus menyediakan USD3 sebagai tips. Ini mungkin sedikit membingungkan. Tetapi jika kita tidak melakukannya, akan dipandang sebagai sebuah tindakan kasar, atau setidaknya kurang sopan.
(Baca juga: Harapan Prof John Wallace Van Doren pada Muhammadiyah sebagai Jembatan Islam dengan Peradaban Lain dan Ketika Malam Terasa Siang, Begitu juga Sebaliknya)
Kasus inilah yang terjadi pada suatu pagi buta. Ketika itu saya meninggalkan Hotel Palomar Washington DC menuju Bandar Udara Nasional Ronald Reagen. Sebuah mobil Chevrolet Suburban keluaran terbaru berwarna hitam mengantarkan saya bersama seorang peserta lain dari Ghana yang bernama Kwame. Karena pesawat yang kami naiki berbeda, maka kami turun di titik yang berbeda. Kwame turun terlebih dahulu dan menuju bagian belakang mobil untuk mengambil barang-barangnya. Saya mendengar dengan terang, pengemudi bertanya kepada Kwame: “Who will pay me?” Kwame menjawab bahwa panitia yang akan membayar. Tetapi jawaban itu tidak membuat pengemudi lega. Kwame mendatangi saya yang masih duduk di kursi tengah mobil. “Pradana, let me make sure that the organizer will pay this taxi. Am I right?” Saya mengangguk, membenarkan pernyataan itu.
Saya memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi. Pengemudi itu tidak menanyakan biaya sewa taksi. Karena sesungguhnya dia tahu siapa yang harus membayar. Ia mafhum mobil ini disewa untuk mengantar delapan belas peserta yang semuanya akan menuju bandar udara hari itu. Maka, ketika ia bertanya “Who pay me?” sebenarnya ia sedang menanyakan tips. Mungkin Kwame tidak menyadari hal itu. Maka begitu giliran saya turun, tak lama setelah menurunkan dua koper, saya memberikan selembar USD5 kepada pengemudi tersebut. Dengan raut muka yang teramat berseri-seri, dia mengatakan: “Thank you very much, Sir. I really, really, really appreciate that.” Raut muka yang berseri itu mengungkapkan banyak hal yang tak terucap oleh lisan. Terang. Di sinilah peran tipping dalam berhubungan dengan pelayanan jasa di Amerika Serikat.
Jangan pula terheran-heran, ketika misalnya, kita sedang berbelanja dan melihat harga yang tertera untuk barang atau makanan yang kita beli. Namun begitu membayar, kasir menyebutkan harga yang sedikit di atas harga yang tertera. Jangan buru-buru berburuk sangka bahwa kasir menipu kita. Ya, karena harga yang kita bayarkan itu termasuk pajak, sementara harga yang tertera biasanya belum memasukkan pajak di dalamnya. Barang maupun makanan semua berpajak. Ini informasi sepele. Tetapi jika kita tidak mengetahuinya, sangat mungkin membuat hati jengkel. Pengalaman dan pengamatan saya, dalam perjalanan ke luar negeri, sekecil apapun nominal uang yang kita miliki sangatlah berharga. Maka selisih harga meski hanya puluhan sen besarnya, selalu mendapat perhatian khusus. Believe it or not.
Di luar soal itu, setiap kali terlibat dalam program-program internasional dengan peserta dari berbagai negara, saya selalu memanfaatkannya untuk mengaca diri. Setiap kawan baru yang duduk di meja makan bersama adalah cermin bagi saya. Di hadapan mereka, saya mengaca betapa dari waktu ke waktu saya harus selalu meningkatkan kualitas diri. Ada banyak contoh. Tetapi dua saja yang ingin saya ungkapkan. Mulai dari bahasa Inggris. Saya tak hendak mengatakan saya tidak bisa bahasa Inggris. Buktinya, saya menyelesaikan studi S-2 dan S-3 di universitas dengan bahasa pengantar Inggris dan tugas akhir di kedua universitas itu juga saya tulis dalam bahasa Inggris. Namun, di hadapan kawan-kawan dari berbagai negara, misalnya Filipina dan beberapa negara Afrika, segera saya menyadari bahwa kemampuan berbahasa Inggris rata-rata orang Indonesia, berada di bawah mereka. Kemampuan artikulasi bahasa Inggris saya tak sebagus mereka.
Hal lainnya adalah mobilitas. Semua peserta fasih bercerita tentang mobilitasnya masing-masing. Dalam perbincangan akhirnya terungkap bahwa mereka ini adalah orang-orang penting di negaranya masing-masing. Mereka seringkali mewakili negara masing-masing dalam berbagai kegiatan di tingkat internasional. Maka mereka lalu bercerita bahwa dalam satu tahun tertentu mereka merasa kerepotan membagi jadwal perjalanan luar negeri. Ini jangan dilihat perjalanan ke luar negerinya semata-mata. Tetapi, seseorang memiliki jadwal perjalanan ke luar negeri yang padat karena ia memiliki reputasi. Dan reputasi itu diakui, lalu diperlukan oleh komunitas-komunitas lain di luar komunitasnya sendiri. Dari cermin inilah, lalu saya mengaca diri. Rupanya begitu banyak hal di dunia ini yang perlu saya tahu. Rupanya di hadapan dunia yang maha luas itu, diri saya ini hanya ibarat butiran debu di padang pasir luas.
Namun, ibarat burung yang terbang melayang, pribadi-pribadi yang saya kenali ini tidak pernah lupa untuk kembali ke sarang. Di sela-sela kepenatan mengikuti program, kami semua berbicara tentang keluarga. Dari obrolan-obrolan itu terekam kerinduan kami semua kepada para buah hati yang kami tinggalkan, kepada rumah yang menjadi tambatan kelelahan. Dari pribadi-pribadi ini, terutama mereka yang lebih senior, saya belajar tentang bagaimana mengatur ritme aktivitas profesional dan pemenuhan hak-hak keluarga. Sekali lagi, sungguh cermin-cermin bening itu benar-benar telah menampakkan kesejatian yang hakiki dan menampar saya untuk terus bercermin kepada kaca-kaca bening itu kapan dan di mana saja.
Kini, enam minggu itu pada akhirnya telah berlalu. Resminya, saya memang belajar pemikiran politik Amerika Serikat. Tetapi sejujurnya, apa yang saya peroleh lebih dari sekadar materi tentang politik. Politik adalah satu hal, tetapi banyak hal-hal lain tentang Amerika Serikat dan apa saja yang saya fahami karena interaksi secara langsung dengan masyarakat dan budaya Amerika. Atau interaksi dengan aneka ragam orang semasa di enam minggu di Amerika. Maka, jika nanti muncul pertanyaan dari sahabat, kolega, handai taulan atau keluarga tentang apa yang telah saya pelajari di Amerika Serikat, saya tak akan menjawab: ”Belajar politik Amerika.” Tetapi, jawaban saya yang lebih jujur adalah: “Saya belajar tentang pemikiran politik Amerika dan lain-lain…” (*)
Discussion about this post