Kumara Adji Kusuma (Foto: PWMU.CO)
Kumara Adji Kusuma – Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
PWMU.CO – Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki peran signifikan dalam pengembangan keuangan berbasis nir-riba yang berimplikasi langsung maupun tidak langsung pada pengembangan dan implementasi perbankan syariah di Indonesia. Pemikiran ini dikembangkan sejak sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum maraknya perbankan syariah secara internasional.
Di saat belum banyak lembaga, institusi, atau bahkan organisasi mayrakat (ormas) lain membicarakan tentang bunga bank, Muhammadiyah telah mendiskusikannya lebih dahulu. Ini tidak lepas dari karakter Muhamamdiyah yang berkemajuan, yakni berfikir dengan pertimbangan jauh ke depan melampaui zamannya, dengan mendialektikakan perkembangan pengetahaun dengan nilai-nilai Islam.
Seperti misalnya sejak era KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah di tahun 1912. Salah satu hal menarik yang perlu kita cermati adalah ketika KH Ahmad Dahlan mendiskusikan perihal bunga yang ada pada bank yang dikenalkan dan dikembangkan oleh kolonialis Belanda kepada masyarakat Nusantara. Sebagai sosok berkemajuan, KH Ahmad Dahlan berusaha untuk menemukan sejatinya bunga yang dibawa oleh Belanda ini. Hal ini karena memang semangat Kyai Dahlan adalah untuk inovasi dalam ekonomi, seperti halnya penetapan kiblat dengan ilmu falaq yang menfaatkan pengetahuan terbaru (Rasyid, 2018; Munfaridah, 2011).
Dan proses penemuan itu diperoleh dari pembelajaran dalam diskusi bersama para kyai lainnya tentang bunga bank. Dalam diskusi ini KH Ahmad Dahlan mengingatkan bahwa jangan sampai orang meninggalkan aturan-aturan agama, termasuk dalam hal ekonomi. KH Ahmad Dahlan mengingatkan bahwa orang tidak perlu berusaha menciptakan uang dengan uang (Kusuma, 2023; Djoko, 2015). Pernyataan bahwa menciptakan uang dengan uang adalah riba, karena orang bersepakat untuk menyerahkan sejumlah uang senilai tertentu dan kemudian mendapatkan pengembalian uang lebih dari jumlah yang telah diserahkan sebagai keuntungan.
Dalam diskusi tersebut, KH Ahmad Dahlan memberikan reminder tentang prinsip riba, bahwa jangan sampai umat Islam menggunakan sistem yang mana memperoleh keuntungan dengan menjadikan uang sebagai komoditas, menjadi semacam barang. Pada diskusi terdapat pertukaran pikiran tentang bunga yang kemudian disimpulkan bahwa bahwa bunga tersebut tidak ubahnya riba yang diharamkan dalam Islam. Karena itu, dalam kesimpulannya, KH Ahmad Dahlan mengingatkan bahwa suatu organisasi dengan dasar keagamaan harus tetap menjaga kemurnian agama Islam di masyarakat.
Nampak jelas bahwa semangat pembaharuan dalam bidang keuangan tersebut muncul, tidak hanya dalam hal pendidikan dan ranah sosial lainnya. Mendiskusikan hal baru dan asing adalah kebiasaan KH Ahmad Dahlan, bahkan meskipun ide atau prakter tersebut berasal dari kalangan non muslim. Semangat ini adalah semangat untuk memperbaiki dan atau mengembangkan ajaran Islam supaya lebih baik dan lebih baik.
Di era tersebut, Muhammadiyah telah memberikan satu kesimpulan bahwa organisasi dengan dasar keagamaan harus tetap menjaga kemurnian agama Islam di masyarakat. Tidak heran jika kemudian menginovasi banyak hal dalam ranah sosial dan ekonomi. Namun dalam bidang ekonomi ini yang sangat jarang terekspos di kalangan masyarakat.
Di dunia internasional, diketahui bahwa di negara Mesir Dr. Ahmad El-Naggar menjadi pelopor “perlawanan” terhadap berkembangnya bunga bank dengan pendirian Mit Ghamr Savings Bank di tahun 1963 (Asutay, 2013). Bank ini dianggap sebagai bank syariah pertama di dunia modern. Ia beroperasi tanpa bunga, berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Namun bank model baru ini harus tutup pada 1967 karena situasi dan kondisi politik di Mesir tengah berperang dengan Israel yang mengakibatkan nasionalisasi aset termasuk Mit Ghamr.
Seolah gayung bersambut, pada tahun 1968, Muhammadiyah mengeluarkan fatwa yang menyoroti pentingnya pengelolaan keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Meskipun belum secara eksplisit menyebutkan perbankan syariah, fatwa ini menekankan pentingnya menghindari praktik-praktik riba (bunga) dan transaksi yang tidak transparan. Fatwa ini menjadi landasan awal untuk pengembangan konsep keuangan syariah di Indonesia.
Kemudian pada era 1970 hingga 1980-an. Di tahun 1972 Muhammadiyah memperkuat pandangan tentang perlunya sistem keuangan yang bebas dari riba. Fatwa ini mulai memberikan arahan lebih konkret mengenai perlunya alternatif terhadap sistem perbankan konvensional yang berbasis bunga. Muhammadiyah mulai mendorong umat Islam untuk mencari dan mengembangkan solusi keuangan yang sesuai dengan syariat. Di dunia internasional kemudian terbentuk berbagai lembaga internasional yang mendukung keuangan syariah, seperti Islamic Development Bank (IDB) yang didirikan pada tahun 1975. IDB memberikan dorongan besar untuk pengembangan perbankan syariah di seluruh dunia.
Fatwa tahun 1972 tentang keharaman bunga bank oleh Muhmmadiyah mulai mendorong umat Islam untuk mencari dan mengembangkan solusi keuangan yang sesuai dengan syariat Islam, yang akhirnya memicu gagasan awal pembentukan bank syariah di Indonesia.
Fatwa resmi keharaman bunga bank yang dibuat oleh sebuah negara adalah Pakistan, pada 1979. Negara ini mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah riba dan oleh karena itu haram. Di bawah kepemimpinan Zia-ul-Haq, Pakistan mulai mengimplementasikan sistem perbankan syariah secara nasional (Shah, 2012; Sajjad, 2020). Bank-bank di Pakistan mulai menawarkan produk-produk bebas bunga. Dilanjutkan dengan Sudan pada 1984 juga mengambil langkah untuk menghapus bunga dari sistem perbankan mereka dan menggantinya dengan sistem keuangan yang sesuai dengan syariah.
Banyak negara, termasuk Malaysia dan negara-negara Teluk (GCC), mulai menerapkan regulasi yang mendukung pengembangan perbankan syariah. Malaysia, misalnya, mendirikan Bank Islam Malaysia Berhad pada tahun 1983 (Sharif, 2019) dan kemudian memperkenalkan sistem perbankan ganda yang mengakomodasi bank konvensional dan syariah.
Dewan Fiqh Islam Internasional (International Islamic Fiqh Academy), yang merupakan bagian dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dalam sidangnya di Jeddah pada 1985, mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah riba dan oleh karena itu haram (Dayyan, 2020). Dari sini, di era 1990-an dan 2000-an kemudian banyak negara menegaskan keharaman bunga bank. Di tahun 1991, disusunlah Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) di Bahrain yang bertujuan untuk menetapkan standar bagi lembaga keuangan syariah.
Di tahun 2004, Majelis Ualam Indonesia, secara tegas menyatakan hukum bunga bank haram. Keputusan ini bisa dilihat dalam Fatwa MUI nomor 1 tahun 2004 tentang bunga (interest). Disusul oelh Muhammdiyah mengeluarkan fatwa tahun 2006, salah satu fatwa paling signifikan yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah terkait dengan perbankan yang mulai meluas dan menguat. Dalam fatwa ini, Muhammadiyah secara tegas menyatakan bahwa bunga bank adalah haram karena dianggap sebagai riba, yang dilarang dalam Islam. Fatwa ini tidak hanya memberikan panduan moral dan agama kepada umat Islam, tetapi juga menjadi dorongan kuat bagi mereka untuk beralih ke perbankan syariah. Fatwa ini juga memperkuat posisi perbankan syariah sebagai alternatif utama bagi umat Islam dalam mengelola keuangan mereka.
Kontribusi Muhammadiyah melalui fatwa-fatwa yang telah ditetapkanya, sejak era KH Ahmad Dahlan (1912-1923), kemudian 1968, disusul tahun 1972, dan 2006, telah mendahalui zamannya.
Fatwa tersebut sangat penting karena, 1) Fatwa-fatwa ini meningkatkan kesadaran umat Islam tentang pentingnya mengelola keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. 2) Dengan menegaskan keharaman bunga, Muhammadiyah mendorong umat untuk mencari alternatif selain perbankan konvensional, yang pada gilirannya mendorong perkembangan perbankan syariah. Dan , 3) Fatwa-fatwa ini membantu membangun kepercayaan umat terhadap sistem perbankan syariah, karena mereka melihatnya sebagai bentuk implementasi ajaran Islam yang lebih konsisten.
Fatwa-fatwa ini juga mempengaruhi kebijakan internal Muhammadiyah, seperti kewajiban bagi institusi di bawah Muhammadiyah untuk memindahkan dananya ke bank syariah. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak hanya menjadi penggerak utama dalam pengembangan perbankan syariah, tetapi juga sebagai contoh konkret dalam penerapan prinsip-prinsip tersebut di tingkat institusi.
Merefleksi kembali di tahun 2024, perbankan Syariah di Indonesia telah berkembang cukup pesat. Setidaknya sebanyak 14 bank berstatus Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 bank yang memilik Unit Usaha Syariah (UUS).Tentu perkembangan ini tidak ujug-ujug alias tanpa proses panjang, tetapi melalui banyak perdebatan hingga menjadi sekarang. Dibandingkan dengan ormas lainya, tentu Muhammadiyah memiiki andil luar biasa bagi pengembangan perbankan Syariah, tidak hanya di Indonesia, tentunya juga menjadi spirit bagi siapapun di dunia internasional.
Editor Teguh Imami