PWMU.CO – Mengenalkan Tapak Suci dalam sesi pertukaran budaya Indonesia- Thailand di Annuban Lopburi School dan Panpattana School adalah agenda mendebarkan dan menantang bagi peserta Students Exchange (SE) SD Muhammadiyah 1 Pucanganom Sidoarjo (SD Muhida), Selasa (6/2/18).
Seperti yang dirasakan Aulia Rachma Fitrianti. “Saya merasa senang dan bangga ketika tampil saat tampil mengenalkan Tapak Suci dan SD Muhida di negara gajah putih. Saya Ingin belajar lebih lama di sini,” ujarnya.
Hal yang sama dirasakan Andina Vareline. “Saya sangat senang walau sempat gugup tampil di hadapan guru dan siswa di aula yang cukup besar dan berhias banyak bunga itu,” akunya.
Menurutnya siswa di sini ramah, baik, dan perhatian meski pada yang belum pernah dikenal. “Mereka juga mudah menjadi sahabat,” katanya.
Soal bahasa, Andina merasa tidak ada halangan. “Karena kami bisa memahami percakapan yang dilakukan walaupun aksen bahasa Inggris kami berbeda,” ucapnya sambil berharap bisa menampilkan budaya Indonesia lebih banyak lagi.
Selama di Anuban Lopburi School peseta SE Muhida juga belajar membuat Foi-Thong yaitu jajanan tradisional Thailand yang berwarna kuning telur. Terbuat dari bahan telur bebek, gula, dan infus water bunga melati yang digoreng. “Kalau di tanah air, bentuknya seperti petulo,” terang Enik Chairul Umah, Kepala SD Muhida yang ikut mendampingi.
Enik—panggilan akrabnya—menjelaskan, tak hanya membuat Foi-Thong, peserta SE juga praktik langsung membuat sabun herbal dan garland, hiasan tangan khas Thailand yang terbuat dari kertas pita. “Anak-anak juga diajari membuat Monkey Key Chains, gantungan kunci yang tebuat dari bahan dasar clay,” jelasnya.
Anchalee Kiratisanti, guru Anuban Lopburi School, menyampaikan monyet merupakan hewan yang banyak terdapat di daerah Anuban Lopburi.
Nah, peserta SE Muhida diajak praktik membuat gantungan kunci bentuk monyet agar ingat hewan khas dan kota Anuban Lopburi itu.
Selepas belajar dan berbagi di kedua sekolah dasar di Lopburi itu, rombongan melanjutkan perjalanan ke Bangkok yang ditempuh selama dua jam menggunakan bus.
Sehingga shalat Dhuhur harus dilakukan di dalam kendaraan. Inilah yang jug amemberi pengalaman baru pada sebagian peserta.
Gilang Malkan Ramdhani, misalnya. Dia merasa terharu bisa shalat di bus. “Ya karena bisa beribadah kepada Allah dalam kondisi apapun,” ujarnya.
Abdullah Makhrus salah satu guru Muhida yang mendampingi kegiatan SE menyampaikan, shalat di kendaraan ini sebagai pengalaman pertama praktik shalat dalam perjalanan.
“Semoga ini memberi pengalaman bagi anak-anak untuk menjaga shalatnya di tengah padatnya acara. Ketika tidak menemukan tempat shalat mereka bisa melakukan di kendaraan,” terang dia.
Berpetualang, bertoleransi, silaturahim! (ECU)