PWMU.CO– ”Heh heh ! Tuh masih ada yang kotor ! Yang bener doong !” ujar Ibu Bawang Merah.
”Kalo nyapu itu harus sampai bersih,” sergah Bawang Merah sambil menjatuhkan tisu-tisu ke lantai.
”Bawang Merah, hentikan. Lantai tak akan bersih jika kau terus mengotorinya seperti ini,” kata Bawang Putih meminta.
”Berani kau! Diam. Kerjakan yang benar!” bentak Ibu Bawang Merah kepada Bawang Putih.
”Jangan lupa cucikan semua bajuku! Nih !” tukas Bawang Merah lagi.
Dialog dongeng klasik Bawang Merah Bawang Putih itu dipentaskan lagi oleh Teater Esa SMP Muhammadiyah 5 (Spemma) Pucang Surabaya di sekolahnya, Jumat (11/5/2018).
Kisah tentang orang jahat dengan orang baik itu masih tetap menarik menjadi tontonan para siswa dan guru dalam pentas drama yang digelar setiap tahun oleh Teater Esa. Tentu saja setting drama itu diubah disesuaikan dengan zaman now. Terutama kostum. Di drama ini Bawang Putih, Bawang Merah dan Ibunya memakai kerudung. Hanya baju yang membedakan karakter watak yang diperankan.
Adegan baru juga ditambahkan yang tidak ada dalam dongeng aslinya. Misalnya pernikahan bapak Bawang Putih dengan ibu Bawang Merah di depan penghulu yang memakai jas lengkap. Sedangkan bapak Bawang Putih memakai surjan dan blangkon. Adegan inilah yang membuat penonton terpingkal karena gayanya yang nyleneh dan keluar pakem cerita.
Ringkasan cerita, ibu Bawang Merah mengincar harta keluarga Bawang Putih. Dia rencanakan kejahatan mulai dari meracun ibu Bawang Putih. Kemudian ayahnya yang duda digoda sehingga menikahi ibu Bawang Merah. Giliran berikutnya bapak Bawang Putih mati diracun sehingga seluruh harta dikuasai dan Bawang Putih diperbudak di rumah itu.
Juga ada adegan rebutan menarik hati sang Pangeran oleh Bawang Merah. Di akhir cerita, Bawang Merah dan ibunya mendapatkan balasan berupa penyakit gatal. Bisa sembuh dengan syarat meminta maaf kepada Bawang Putih.
Rupanya itulah pesan dari kisah drama ini. Berbuatlah baik kepada sesama manusia dan meminta maaf jika bersalah. Sepintas drama ini juga memasukkan adegan kisah Cinderella seperti ada sang Pangeran, kucing yang menjadi sahabat Bawang Putih, serta munculnya peri yang menyelesaikan semua masalah.
Munculnya peri ini yang menjadikan kisah drama ini gagal menyelaraskan dengan setting Islamisasi cerita. Peri adalah kepercayaan takhyul Eropa. Sementara kisah aslinya penilaian perilaku baik buruk dan balasannya diuji oleh seorang nenek biasa yang ditemui Bawang Putih saat mencari pakaian yang hanyut di sungai.
Terlepas dari cerita itu, pementasan drama ini telah memberikan pengalaman para pemain teater sekolah. “Bagi murid pementasan ini memberikan kepercayaan diri. Di atas panggung ia berani menatap banyak penonton dan menghilangkan grogi,” ujar Miftakul Khoir, pembina teater.
Selain itu, kata dia, juga tumbuh kemampuan anak berasosiasi, berimajinasi, daya pikir, daya empati, daya apresiasi, yang membuat anak sadar situasi sosial, nilai-nilai kebersamaan, nilai saling menghargai.
Azhila Maheswari, pemeran Ibu Bawang Merah mengatakan, ini pengalaman pertama dia bermain teater. Pengalaman yang menjadikannya percaya diri tampil di depan publik. “Awalnya saya malu sih untuk pentas di depan umum karena belum pernah saya lakukan tetapi dengan belajar terus saya bisa mengatasi perasaan itu, ” tegas Azhila. (Mifko)