PWMU.CO – Seorang pemuda berprestasi yang mendapat berbagai penghargaan dalam dan luar negeri, ternyata adalah predator seksual.
Rabu (19/9/18) di Pengadilan Negeri Balikpapan ia dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Sembari tetap mengapresiasi kerja aparat penegakan hukum, saya terus terang punya ekspektasi lebih tinggi dari pada ‘sebatas’ 12 tahun penjara bagi terdakwa.
Apa pasal? UU Perlindungan Anak (revisi kedua) memuat ketentuan bahwa sebagaimana dalam kasus kejahatan seksual yang dilakukan mantan fasilitator forum anak nasional dengan korban lebih dari 1 orang, ancaman pidananya adalah penjara minimal 10 tahun, maksimal 20 tahun, hukuman seumur hidup, hukuman mati.
Mengacu pada angka-angka tersebut, 12 tahun yang dijatuhkan terhadap terdakwa (sekaligus tuntutan jaksa) hanya berselisih 2 tahun dari hukuman minimal. Itu satu hal.
Lain hal, dengan alasan yang sama, pelaku dapat dikenakan sanksi tambahan berupa pengumuman identitas pelaku serta kebiri kimiawi. Vonis hakim ternyata juga belum memuat dua ragam pidana tambahan tersebut.
Alhasil, saya waswas bahwa ketika angka kejahatan seksual terhadap anak bergerak laksana deret ukur, penaikan hukuman bagi predator sepertinya laksana deret hitung. Jumlah kasus membumbung, lama pemenjaraan relatif segitu-segitu saja.
Lagi pula, di mana gerangan efek jera yang bisa muncul dari pembukaan identitas pelaku? Sebagai perbandingan, koruptor, walau identitasnya terbuka, tetap tidak terkendala untuk menjadi wakil rakyat.
Pun, sanksi kebiri kapan akan terealisasi? Pada tataran UU dan pernyataan menteri saja terlihat adanya kontradiksi secara filosofis. Belum lagi ketentuan teknisnya yang tak kunjung ada betapa pun sudah dua tahun berselang sejak UU diabsahkan. (*)
Kolom oleh Seto Mulyadi, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)