PWMU.CO – Buku karya Dosen Prodi Studi Agama-Agama Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Sholikhul Huda MFill berjudul “Inclusive Village in Indonesia (Kampung Inklusif di Indonesia) berhasil diterbitkan oleh Internasional Lambart Academic Publishing, penerbit yang bermarkas di Mauritius Eropa.
Sholik menceritakan, awal perjalanan panjang penulisan karya penelitan yang kini dibukukan oleh penerbit luar negeri tersebut. Ketika itu, Sholik mengajukan proposal penelitian pada skim penelitian dosen pemula (PDP) program hibah penelitian Kemenristek Dikti Republik Indonesia tahun 2013. Penelitian berjudul “Kampung Inklusif: Model Toleransi Antar-Umat Beragama di Desa Balun Kecematan Turi, Lamongan.
“Alhamdulillah, proposal penelitian saya lolos, dan didanai sekitar Rp 15.000.000 melalui program hibah penelitian Kemenristek Dikti tahun 2014,” katanya ketika dihubungi PWMU.CO, Senin (4/3/19).
Pascalolos, proses riset pun dilakukan Sholik sekitar 7 bulan di Desa Balun dengan mewancarai para tokoh agama, baik itu Islam, Kristen, maupun Hindu. Sholik juga mewancarai perangkat Desa Balun.
“Dari hasil wawancara dengan tokoh agama dan perangkat desa itu akhirnya berbuah karya riset, yang kemudian dibukukan ini,” paparnya.
Sholik melanjutkan, pascariset dirinya menulis hasil riset dalam bentuk artikel berbahasa Inggris dan dikirim ke Academia.edu, sebuah web khusus menerima dan mempublikasikan tulisan-tulisan para intelektual dunia secara online yang berisi kajian sosial-politik-agama. “Artikel itu saya kirim sekitar tahun 2017,” tuturnya.
Nah, dari artikel yang dimuat web Academia.edu, pihak penerbit yang bermarkas di Mariutius Eropa melalui Email Editor Alexandra Drugush menawari Sholik agar karya riset tersebut diterbitkan dalam bentuk buku.
“Saya pun jawab okey, dan akhirnya menjadi buku dengan judul: Inclusive Village in Indonesia ini,” ungkapnya.
Sholik mengungkapkan, buku tersebut dilatari dari kegelisahan akademis penulis terhadap justifikasi opini nasional dan masyarakat internasional terhadap Lamongan, yang dianggap sebagai kampung teroris.
Di mana, ada sekolompok orang Lamongan (Amrozi CS) yang dituduh melakukan aksi terorisme dan dihukum mati. Mereka dikubur di Desa Tenggulun, Lamongan. “Tapi, tidak semua warga Lamongan bersepakat dengan model dakwah dengan aksi-aksi teror itu,” terangnya.
Menurut Sholik, dampak dari justifikasi opini tersebut sangat menganggu dan membuat ketidak nyamanan warga Lamongan dalam pergaulan nasional maupun internasional. Warga Lamongan pun akhirnya sering dibully, bahkan dicurigai seolah-olah bagian dari jaringan teroris.
“Tentu kondisi tersebut sangat merugikan citra dan posisi pergaulan sosial-politik- budaya dan keagamaan warga Lamongan. Artinya warga Lamongan memiliki varian dalam paham keagamaan, sosial, pilihian politik dan kultur kebudayaan tidak tunggul dengan tuduhan kampung teroris,” ungkapnya.
Nah, dari latar sosial tersebut Sholik ingin menunjukan opini berimbang dengan menujukan hasil riset ke dunia internasional bahwa Lamongan tidak hanya dikenal sebagai kampung teroris. Lebih dari itu, Lamongan juga dikenal kampung toleran (inklusif).
Hal itu, lanjut dia, dapat dibuktikan melalui hasil riset yang sudah dibukukan dan diterbitkan penerbit internasional.
“Counter opini tersebut nampak dari hasil riset yang menujukan di Lamongan ada sebuah desa yang masyarakatnya hidup secara harmoni. Padahal, mereka hidup berbeda keyakinan agama, yakni Islam, Kristen dan Hindu,” urainya.
Padahal, di tempat lain perbedaan agama sering dijadikan legitimasi atau sumber potensi konflik yang mematikan. “Masayarakat Desa Balun tidak pernah mempersoalkan perbedaan agama yang ada, mereka memahami perbedaan adalah hal yang lumrah. Terpenting dari menyikapi perbedaab adalah saling menghormati,” jelasnya.
Kandidat Doktor UINSA Surabaya itu menyebutkan, sikap toleransi di masyarakat Desa Balun terbangun dari nilai- nilai tradisi (local wisdom) yang hidup di sekitar.
“Ada tiga lokal wisdom yang menjadi model praksis toleransi dan modal sosial hidup harmoni di tengah perbedaan agama di Desa Balik,” tuturnya.
Model pertama, sebut dia, tradisi politik pluralis, yaitu distribusi kekuasan aparatur pemerintahan desa yang melibatkan semua kelompok berbeda agama dengan tidak serta merta monopoli kekuasaan mayoritas (Islam).
Kedua, kenduri multikultural adalah tradisi selametan-tasyakuran seperti kawinan, sunatan, dan kematian yang saling mengundang antarwarga yang berbeda agama, baik itu Islam, Kristen, dan Hindu.
Ketiga, dakwah inklusif sebuah tradisi yang saling dijaga dalam menyampaikan ajakan dakwah dengan tidak menyinggung kepercayaan agama lain. “Model dakwah lebih mengajak pada saling menghormati terhadap kepercayaan yang berbeda,” tegasnya.
Terakhir, yang keempat adalah keluarga multikultural yaitu sebuah tradisi perkawinan beda Agama. Menurut Sholik di Dessa Balun dalam satu keluarga bisa hidup berdampingan antarpemeluk agama berberbeda dalam satu rumah. (Aan)
Discussion about this post