PWMU.CO – Kamis (4/7/2019) malam, saya dan beberapa kawan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) bersilaturahmi ke kediaman Pak Amien Rais untuk berlebaran, karena memang baru sempat waktunya.
Sebelum saya dan kawan-kawan diterima, sempat shalat Isya berjamaah di masjid yang berada persis di depan kediaman Pak Amien. Selepas shalat, ada tiga kelompok tamu yang mengantre bertemu Pak Amien. Di antaranya, saya mengenal salah satunya adalah Mudrick Sangidu, tokoh gaek Partai Persatuan Pembangunan (PPP) asal Solo yang dulu dikenal oposan terhadap Soeharto, penggagas Mega Bintang, dan juga pernah sama-sama saat berlangsung Muktamar PPP 1994 di Asrama Haji Pondok Gede bahu-membahu mendukung Sri Bintang Pamungkas menjadi Ketua Umum PPP.
Saat itu saya masih mahasiswa semester tujuh di FISIP UMM. Masih ingat saat itu, jangankan berhasil menjadi calon, masuk arena muktamar pun Sri Bintang dihalangi begitu rupa. Betapa otoriternya rezim Soeharto.
Ketika sedang menerima saya dan kawan-kawan, Mas Ismail (ajudan Pak Amien) bilang ke Pak Amien kalau di luar sudah ada tamu yang mengantre untuk bertemu. Di antaranya disebut nama Lieus Sungkharisma, yang sempat jadi tersangka karena sangkaan makar dan beberapa hari mencicipi jeruji tahanan.
Karena ada yang mengantre, Pak Amien bilang: “Sudah dulu ya, nanti kita cari waktu lain yang lebih longgar untuk ngobrol”. Saat Pak Amien bilang begitu, saya dan kawan-kawan AMM kira-kira sudah ngobrol sekitar 40 menitan. Akhirnya kami pamit meninggalkan kediaman Ketua PP Muhammadiyah 1995-1998 itu.
Ketika perjalanan pulang dari kediaman Pak Amien, di mobil saya sempat terdiam sambil mata sedikit berkaca-kaca membayangkan posisi Pak Amien saat ini dengan posisi Mas Anas Urbaningrum ketika jelang “ditersangkakan” dengan sangkaan yang ngawur dan sangat dominan aspek politiknya dari pada aspek hukumnya hingga akhirnya divonis di tingkat Kasasi 14 tahun dan mendekam di L . Sukamiskin.
Sejak awal mencuat kasusnya, saya yakin Mas Anas memang dikorbankan atau dalam bahasa buku yang saya tulis: Anas Urbaningrum Tumbal Politik Cikeas. Dan seiring ditahannya Mas Anas, keyakinan saya ini semakin kuat. Dari mulai wartawan sampai orang yang kerap dilibatkan dalam gelar perkara di KPK cerita soal kaganjilan kasus Mas Anas.
Terakhir, kira-kira setengah bulan yang lalu, dalam suatu pertemuan, saya dibisiki anggota komisioner salah satu lembaga yudikatif yang cerita soal pertemuan dirinya dengan salah seorang hakim MA (maaf, kebetulan non-Muslim) yang menangani kasus Kasasi Mas Anas. Hakim ini menyampaikan ke Artidjo Alkostar soal kasus Mas Anas.
Kira-kira intinya: “Pak Artidjo, ini kasus Pak Anas bagaimana? Kan ini kasusnya sumir, tidak jelas. Pak Anas HMI dan bapak juga HMI.” Konon langsung Artidjo bilang: “Justru karena HMI akan saya hukum seberat-beratnya”. Aneh kan? Kasus hukum yang sumir, tidak jelas itu tidak dikaji dengan seksama, tapi justru faktor HMI-nya yang dikedepankan.
Kalau benar terbukti bersalah secara hukum tanpa ada intervensi politik, saya mendukung pemberian hukuman yang berat kepada Mas Anas karena HMI-nya. Tapi ini kasus yang sangat tidak jelas, sumir. Saya menduga bahwa Artidjo tidak membaca kasus Mas Anas dengan utuh dan baik, sehingga putusan kasasinya pun jauh dari bijaksana. Pokonya yang penting bisa melipatgandakan hukuman, biar dinilai publik sebagai hakim yang adil, meski sejatinya tidak adil.
Ketika masih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat hasil Kongres Bandung 2010 dan secara politik sangat kuat, para penjilat, penyetor muka, orang-orang hipokrit berusaha untuk selalu dekat, menempel, dan kalau perlu menemani ke manapun Mas Anas pergi.
Namun ketika Mas Anas ditetapkan sebagai tersangka, mereka ini mulai mundur teratur menjaga jarak, sampai akhirnya benar-benar menjauh dari Mas Anas. Ketika masih ditahan di tahanan KPK di Kuningan Jakarta mereka tidak punya keberanian secuil pun untuk menjenguk, apalagi selepas Mas Anas di tahan di Sukamiskin. Takut oleh pantauan Cikeas yang saat itu secara politik masih sangat kuat.
Saya geli sekaligus sedih melihat mentalitas teman-teman di Partai Demokrat saat itu. Betapa seseorang yang sudah memandang kekuasaan politik sebagai segalanya bisa melupakan pertemanan, bisa jatuh hina menjadi budak kekuasaan. Jabatan politik seakan jauh lebih bernilai dan segala-galanya daripada arti sebuah persahabatan.
Tak berbeda dengan Mas Anas, ketika kekuasaan politik Pak Amien masih sangat kuat dalam konteks politik nasional dan PAN, mereka yang bermental penjilat, hipokrit, dan sudah tentu nir-integritas juga berusaha untuk selalu mendekat ke Pak Amien. Tentu harapannya akan memperoleh jabatan (position) politik dan pendapatan (ujrah) politik atas kedekatannya dengan Pak Amien.
Konteks Pak Amien malah bukan saja orang-orang bermental seperti yang saya sebut di atas, tapi juga orang-orang yang sejatinya secara ideologis berbeda dengan Pak Amien. Bila kelompok pertama kedekatannya lebih berorientasi pragmatis terkait dengan jabatan atau kekuasaan, maka kelompok kedua lebih berorientasi ideologis.
Ada agenda ideologi yang mencoba diperjuangkan. Mereka mencoba mempengaruhi (secara ideologis) setiap kebijakan politik PAN. Dalam perkembangannya, orang-orang seperti Goenawan Mohamad, Abdullah Thoha, dan Albert Hasibuan, yang secara ideologis berbeda dengan Pak Amien tak mampu berbuat banyak dalam memengaruhi PAN. Mereka pecah kongsi dengan Pak Amien.
Ketika kekuatan politik Pak Amien mulai berkurang dan secara fisik juga mulai menurun bila dibanding dengan 10-15 tahun yang lalu, maka mulailah orang-orang yang sebelumnya suka menjilat, menghamba, dan selalu berusaha untuk dekat dengan Pak Amien mulai mundur teratur dan pada akhirnya benar-benar menjauh dari Pak Amien. Sebagian bahkan secara soft melakukan perlawanan terhadap Pak Amien.
Selama proses—pra dan pasca—Pilpres 2019, entah berapa kali saya bertandang ke kediaman Pak Amien dan beberapa kali juga mendampinginya dalam beberapa acara politik, namun saya nyaris tak mendapati banyak orang-orang PAN yang datang ke kediaman Pak Amien atau mendampinginya.
Hanya beberapa nama orang PAN yang kerap saya temui, seperti Mas Drajat Wibowo, Mas Fikri Yasin, Bang Chandra Tirta Wijaya, Nurdiati Akma, dan beberapa calon legislatif PAN seperti Egie Sudjana, Dedi S. Gumilar (Miing). Justru orang-orang seperti Marwan Batubara, Mahfudin Nigara, Lieus Sungkharisma, dan banyak nama lainnya yang selalu berkunjung dan mendampingi Pak Amien. Padahal mereka bukan orang PAN dan orang yang secara politik rasanya tak pernah mendapatkan keuntungan politik secara langsung dari Pak Amien.
Seiring berakhirnya proses Pilpres 2019, yang berhasil “dimenangkan” oleh pasangan Joko Widodo-KH. Makruf Amin, secara politik tentu tidak menguntungkan Pak Amien. Elit-elit PAN yang sebelumnya sudah mulai menjauh dari Pak Amien, maka seiring putusan MK dan penetapan KPU, mereka tentu akan semakin menjauh. Mereka inilah yang masih berharap PAN akan berkoalisi dengan Jokowi-Makruf.
Layaknya politisi yang bermental pragmatis dan nir-integritas, dengan menjalin koalisi, maka mereka akan memperoleh keuntungan politik. Harapan untuk menjadi menteri, duta besar, direktur dan komisaris BUMN, dan jabatan lainnya yang mampu mendatangkan pundi-pundi uang dan kekuasaan menjadi terbuka bila dibandingkan PAN memilih tak berkoalisi dengan Jokowi-Makruf.
Fenomena politisi yang suka menjilat, menghamba pada kekuasaan, nir-integritas inilah yang saat ini tumbuh subur hinggap di semua partai politik. Berpolitiknya cenderung menghalalkan segala cara, semua serba boleh, tak ada kesantunan atau fatsun dalam berpolitik.
Politik dipahami sebatas sebagai perebutan kekuasaan, siapa dapat apa. The winner take all diterapkan begitu rupa, pihak yang menang menguasai sepenuhnya, dan yang kalah disingkirkan sepenuhnya pula. Dalam terminologi politik, inilah wujud nyata politik yang unvalues, politik tanpa nilai.
Kebanyakan politisi sepertinya masih enggan untuk menerapkan politik dalam pengertian klasik, di mana politik dimengerti sebagai upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama (maslahati al-ammah, public good). Politik dihadirkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya menyengsarakan.
Sistem politik, produk undang-undang dan kebijakan politik lainnya dibuat dengan tujuan mulia, yaitu tegaknya keadilan di masyarakat, yang ending-nya adalah terciptanya negara sebagaimana disebut dalam Alquran sebagai baldatun thayyiabtun wa rabbun ghafur.
Mau sampai kapan praktik politik yang bobrok dan berbiaya mahal, korup, unvalues, dan penuh kemunafikan (nir-integrtas) ini akan terus berlangsung? Rasanya hanya Allah yang mampu menjawabnya dengan segala keserbamahaannya. Wallahu a’lamu bi al-shawabi (*)
Lembah Cirendeu, 8 Juli 2019.
Kolom oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Guru Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ.