PWMU.CO – Badan Pengembangan Laboratorium Pendidikan (BPLP) Universitas Negeri Malang (UM) Cambridge Centre ID 110 menggelar Workshop Enhancing Teacher’s Creativity In Preparing Cambridge Exams, di Hotel Pelangi Malang, Jumat-Ahad (12-14/7/19). Kegiatan ini diikuti 26 sekolah mitra Cambridge Centre ID 110 dari jenjang TK, SD, SMP, dan SMA.
Head of IDLE 110 Drs H Sucipto MS mengatakan, mengelola dan mengembangkan International Class Program (ICP) itu berat dan sulit. “Nah kita berhimpun di sini sebenarnya bagaimana yang berat itu, yang sulit itu, ke depan bisa menjadi terasa lebih ringan dan mudah,” ujarnya dalam sambutan pembukaan.
Menurutnya, semua tergantung bagaimana kita menyikapi, merespon, dan menempatkan sesuatu. “Sebenarnya gak ada masalah kalau kita mau. Bagaimana supaya barang berat menjadi ringan, barang sulit menjadi mudah, ya dijalani dengan cinta,” jelasnya.
Ia menjelaskan, sebelum mencintai, harus dibangun dulu rasa suka dan interest (tertarik). “Insyaallah yang berat terasa ringan, yang sulit terasa mudah. Dengan cinta ini ada optimis, ada spirit, ada semangat. Kalau sudah gak suka isinya cuma menderita, isinya hanya mengeluh, nggerundel, kata orang Jawa,” tuturnya.
Sucipto menekankan, hal pertama yang penting adalah bagaimana kita mencoba mencintai ICP ini, supaya yang berat itu kita rasakan menjadi ringan dan semangat. Salah satu maksud kegiatan ini, kata dia, adalah bukan sekadar silaturahim atau kangen-kangenan.
“Cari teman, ya itu pasti. Tapi harus ada plusnya. Jangan sampai kita datang ke sini bawa kesulitan, bawa persoalan, pulang tetep mumet,” ujarnya disambut tawa peserta.
Karena itu ia berharap kegiatan ini menggunakan pendekatan responsif kebutuhan atau persoalan, bukan sekadar informasi theoritic. Di samping ada tema khusus yang sudah dirumuskan berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi (monev) yang dilakukan tim ahli atau tim pengembang.
“Sepertinya memang sekarang ini akan diberi pembekalan khusus tentang bagaimana mengembangkan soal-soal tes yang berbasis paper, berbasis HOTS, dan segala macam itu,” jelasnya.
Menurutnya, hal itu memang menjadi core (inti)-nya, tapi tidak menutup kemungkinan hal-hal lain yang sudah disiapkan masing-masing sekolah ke sini untuk bisa dikonsultasikan kepada expert (ahli) yang sudah dijadwalkan mendampingi selama tiga hari.
“Ya itu nanti pendekatannya model klinis, case by case, kasus per kasus, kesulitan demi kesulitan. Saya kira bisa dikonsul, supaya pulang sudah ada resepnya walaupun implementasinya tergantung dari Bapak Ibu juga,” kata dia.
Ia menuturkan, selain mendapat hal yang sifatnya baru, selama tiga hari ini peserta juga bisa mengonsultasikan bagaimana kesulitan-kesulitan yang selama ini dialami saat mengurus dan mengembangkan ICP yang diyakini punya keunggulan.
“Tidak bisa dihindari lagi dalam konteks kompetisi daya saing di tingkat global, ICP ini salah satu solusi untuk meningkatkan competitiveness lulusan kita, khususnya yang di SMA,” tegasnya.
Baginya, sekarang ini tidak cukup seseorang itu cerdas secara intelektual, tapi juga harus plus IT dan bahasa. “Salah satunya dari sekian bahasa yang penting itu adalah bahasa Inggris,” ujarnya.
Ia mengingatkan, seorang guru dituntut untuk bisa mengantar dan membantu memprospek anak-anak memiliki modal dalam konteks menghadapi kehidupan yang lebih complicated atau lebih rumit karena kompetisinya luar biasa.
“Mari kita bangun spirit, jangan putus asa karena kita tidak sendirian. Di forum inilah kita saling berbagi pengalaman sekolah-sekolah, best practice, sehingga bisa mendapat inspirasi,” harapnya. (Vita)