PWMU.CO – Saya naik haji tahun 2015. Saat wukuf di Arafah rombongan kami setenda dengan salah satu KBIH. Dalam pelaksanaan shalat Dzuhur dan Ashar dijama’ qashar. Imam shalat membaca Surat Al Fatihah dan surat lainnya dengan keras (jahr). Bagaimanakah tuntunan Shalat Dhuhur dan Ashar di Arafah yang sebenarnya?
H. Rafy, Surabaya
Dasar pelaksanaan shalat Dzuhur dan Ashar pada hari Arafah di antaranya adalah hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan kronologis pelaksanaan haji Rasulullah SAW.
Dalam hadits yang narasinya sangat panjang tersebut terdapat penggalan atau bagian yang menjelaskan pelaksanaan shalat Dzuhur dan Ashar pada hari Arafah, yaitu:
فَأَتَىٰ بَطۡنَ الۡوَادِي، فَخَطَبَ النَّاسَ، ثُمَّ أَذَّنَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهۡرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الۡعَصۡرَ وَلَمۡ يُصَلِّ بَيۡنَهُمَا شَيۡئًا، ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللهِ ﷺ حَتَّىٰ أَتَى الۡمَوۡقِفَ
“Kemudian Rasulullah SAW menuju ke tengah lembah untuk berkhutbah di hadapan orang-orang. Kemudian (Bilal) mengumandangkan adzan dilanjutkan iqamah. Kemudian shalat Dzuhur, dilanjutkan iqamah kemudian shalat Ashar. Beliau SAW tidak melaksanakan shalat (apapun) di antara keduanya. Selanjutnya Rasulullah SAW menaiki kendaraannya menuju tempat wukuf.” (Diriwayatkan oleh Muslim, hadis nomor 1218).
Mengacu pada riwayat di atas, Ibn Rusyd mengutip sebuah pendapat bahwa para ulama telah berijma tentang pelaksanaan shalat Dzuhur dan Ashar pada hari Arafah, yaitu dilaksanakan secara jama-qashar dengan suara lirih atau sirri, (Bidayatul Mujtahid, I/337).
Lebih jauh Imam An-Nawawi menyebut nama ulama-ulama generasi tabi’ut-tabi’in, seperti Thawus dan Mujahid, dan generasi berikutnya seperti Azzuhri, Malik bin Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafii, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Ulama-ulama Syafi’iyyah juga berijma bahwa shalat Dzuhur dan Ashar pada hari Arafah dilaksanakan secara lirih atau sirri, (Hasyiyah Attarmasyi, VI/292).
Ibnu Utsaimin mengatakan, walaupun seandainya hari Arafah bertepatan dengan hari Jumat pun, shalatnya tetap dilaksanakan secara sirri. Karena telah berganti menjadi shalat Dzuhur, (Syarah Al-Mumti’ ala Zad al-Mustaqni’, V/11).
Dengan demikian yang menjadi acuan dalam masalah ini adalah pelaksanaan shalat Dzuhur dan Asar sebagaimana biasanya yang dilaksanakan secara sir, bukan adanya khutbah.
Terkait mengqiyaskan shalat Dzuhur dan Ashar di Arafah dengan shalat lain yang ada khutbahnya, misalnya shalat Jumat dan shalat Id tentu tidak tepat. Khutbah Arafah dilaksanakan sebelum adzan sedangkan khutbah Jumat dilaksanakan setelah adzan. Shalat di Arafah diawali dengan adzan dan iqamah sementara dalam shalat Id hal tersebut tidak ada.
Para ulama sepakat bahwa ibadah mahdhah atau ibadat yang sifatnya tauqifiy, yaitu ibadat yang disyariatkan kepada manusia namun tidak diketahui illat atau alasannya adalah tidak bisa diqiyaskan. Dalam hal ini manusia harus pasrah menerimanya dan tidak menanyakan alasan dari perintah tersebut, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Anbiya ayat 23. Bahwa Allah SWT, tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan manusialah yang akan ditanyai.
Dalam Ensiklopedi Fikih al-Kuwatiyyah entri ta’lil terdapat keterangan sebagai berikut:
الأصل في أحكام العبادات عدم التعليل، لأنهاقائمة على حكمة عامة، وهي التعبد دون إدراك معنى مناسب لترتيب الحكم عليه، وأما أحكام المعاملات والعادات والجنايات ونحوها، فالأصل فيها: أن تكون معللة، لأن مدارها على مراءاة مصالح العباد، فرتبت الأحكام فيها على معان مناسة لحقيق تلك المصالح، و الأحكام التعبية لا يقاس عليها لعدم إمكانية تعدية حكمها إلى غيرها. وقال شيخ الإسلام ابن تيمية في القواعد النورانية: كان أحمد وغيره من فقهاء أهل الحديث يقولون: إن الأصل في العبادات التوقيف، فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله، وإلا دخلنا في معنى قوله تعالى: أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
Asal dari hukum-hukum ibadah adalah tidak adanya penelusuran illat atau alasan hukum. Karena ibadah tegak di atas hikmah umum yaitu “ibadat”. Tanpa disertai usaha pencarian alasan yang pantas terkait disyariatkannya.
Adapun hukum keperdataan (muamalat-duniawiyah), adat-budaya, pidana, dan yang selainnya, hukum asalnya adalah memiliki alasan tertentu. Karena pusarannya adalah menjaga kemaslahatan hidup para hamba. Maka dibuatlah hukum atau aturan yang mengacu pada terwujudnya kemaslahatan tersebut.
Hukum-hukum ta’abbudiy tidak bisa diqiyaskan karena tidak bisa menyerberangkan hukum-hukumnya kepada yang lainnya. Syiakhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat sebagaimana ia tuangkan dalam kitab, Alqawa’id Annuraniyyah, bahwa Ahmad bin Hanbal dan kawan-kawannya yaitu fukaha ahlli hadis, berpendapat, al-aslu fil ibadati attauqif, bahwa asal dari ibadah adalah berhenti (tidak disertai pertanyaan apa tujuannya). Tidak dilaksanakan kecuali yang telah disyariatkan Allah. Jika tidak (maksudnya: jika kita mengqiyaskan masalah ibadah) maka bisa masuk ke dalam firman Allah SWT, Asy-Syura ayat 21.
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (*)
Ditulis oleh Dr Syamsuddin MA, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Tulisan ini kali pertama dipublikasikan Maalah Matan.