PWMU.CO – Apa hukum kurban serta syarat-syarat bagi yang hendak kurban? Apa saja kreteria hewan kurban itu? Hewan apa saja yang dibolehkan? Bolehkan kurban dengan nilai rupiahnya untuk fuqara wal masakin, misalnya?
Bolehkah daging kurban itu diberikan dalam bentuk sudah masak? Kapan waktu yang afdhal menyembelih kurban? Betulkah, katanya, daging kurban itu sepertiganya hak yang berkurban? Bagaimana tata cara kurban yang dilakukan Rasulullah SAW? Apa ada tasyakuran haji?
Terimakasih atas jawabannya. (Jamaah)
Jawab:
Al-Adha, artinya penyembelihan. Karena penyembeilah hewan ini dimaksudkan untuk pendekatan kepada Allah, maka kemudian disebutlah “kurban”, artinya: Sangat dekat. Sementara Alquran menyebutnya dengan “Nahr”, yang artinya: penusukan pada leher, sebagaimana firman Allah, “Fashalli lirabbika wanhar” (Maka shalatlah karena menyembah tuhanmu dan berqurbanlah).
Karena cara inilah yang dipakai dalam menyembelih onta. Dan sebutan kurban diambnil dari kisah dua putera Adam, Qabil dan Habil “Idz qarraba qurbanan”. Karena itu tidak salah kalau disebut juga dengan “Idun Nahr” atau “Yaumun Nahr”, juga “Idul Kurban”.
Demikian, sekilas pengantar tentang pengenalan Idul Adh-a, yang sebentar lagi akan datang. Berikutnya adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas:
1. Hukum kurban. Ada perbedaan di kalangan ulama. Kebanyakan menganggapnya sunat, tetapi Imam Abu Hanifah menganggap wajib, berdasar ayat Alquran “Fashalli lirabbika wanhar” (dan shalatlah utnuk menyembah tuhanmu serta berqurbanlah). Lebih lanjut, beliau membawakan sebuah riwayat: ”Siapa yang mempunyai kemampuan, tetapi tidak berkurban, janganlah mendekati mushalla kami!” (HR Baihaqi)
2.. Sedang persyaratan bagi yang hendak berkurban: Muslim, mampu, dan ikhlas karena Allah, serta tidak memotong anggota badannya seperti kuku, rambut dan sebagainya, mulai tanggal 10 Dzil Hijjah, sampai hewannya dipotong.
3. Kreteria hewan kurban: sehat, gemuk, dan cukup umar (kambing: 1 tahun, sapi 2 tahun). Hewan kurban itu ditentukan: kambing (dengan segala macamnya), onta dan sapi (dengan segala macamnya). Selain itu tidak boleh, seperti marmut, ayam, atau bebek.
4. Karena kurban itu harus berupa penyembelihan, sehingga kalimatnya berbunyi adha dan nahr, maka kurban haruslah berbentuk hewan. Jadi, tidak boleh kurban diganti dengan nilainya, atau uang, sekalipun manfaat uang lebih banyak, karena uang itu lebih fleksibel. Tetapi, karena kurban itu ta’abbudi bersifat peribadatan, maka aturannya, termasuk bendanya haruslah tertentu.
5. Daging kurban itu memang harus dibagikan antara lain kepada fuqara wal masakin. Karena agama tidak membatasi teknis pembagiannya, maka sah-sah saja kalau dibagi dalam bentuk sudah masak.
6. Secara umum, waktu afdhal penyembeihan kurban adalah pada hari Nahr atau Idul Adha, yaitu tangal 10 Dzulhjjah, sesudah shalat Id. Karena di saat itu adalah bertepatan dengan hari raya, hari bersuka cita. Dan di saat itu pula fuqara wal masakin sedang menanti.
Tetapi, kalau ternyata dalam kondisi tertentu, maka waktu itu, itulah yang afdhal. Misalnya kurban itu akan kita bawa ke daerah miskin, sementara jaraknya agak jauh, saehingga memerlukan waktu lama. Ketika itu hari sampainya kurban di daerah tersebut itulah yang yang lebih afdhal.
7. Sebenarnya tidak ada ketentuan besar kecilnya pembagian daging kurban. Hanya saja, dalam hadits disebutkan: Makanlah, berikanlah, dan simpanlah. (HR Bukhari)
Dari hadits inilah, lalu timbul pendapat, daging kurban itu dibagi tiga, satu bagian untuk yang kurban, satu bagian untuk fuqara wal masakin, dan satu bagian lagi untuk umum. Hadits ini bukan membagi, tetapi sekedar “pembolehan” bagi yang berkurban memakan daging kurban itu.
8. Cara kurban Rasulullah SAW: Beliau berkurban seekor untuk semua keluarganya, dan kurban itu beliau sembelih sendiri, seraya bersabda: ”Allahumma hadza min Muhammad wa min ali Muhammad” (Ya Allah ini dari Muhammad dan dari keluarga Muhammad).
9. Tasyakkuran haji, dalam bentuk mengundang tetangga kanan kiri, keluarga, dan handai taulan, lalu makan-makan bersama, itu secara ekplisit tidak pernah kita temui dalam hadits-hadits Nabi SAW.
Namun, perbuatan tersebut, insyaallah, tidak bidah. Pertama, Karena perbuatan tersebut adalah duniyawiyah, sedang hal duniyawi oleh Islam kita diperkenankan untuk membuat cara baru yang baik.
Kedua, tasyakauran ini kalau diadakan sebelum keberangkatan, maka dapat dijadian sebagai ajang pamitan dan minta maaf serta doa selamat. Sedang, kalau diadakan sepulang dari haji berarti ajang ucapan selamat dan doa untuk menjadi haji mabrur atau doa dikabulkannya ibadah, dengan iringan doa “taqabbalallahu minka (semoga Allah menerima ibadah Anda).”
Namun, yang perlu diingat jangan menjadikan tasyakuran ini sebagai tradisi yang pada saatnya akan menjadi suatu keyakinan kalau tidak tasyakuran sepertinya kurang afdhal dan kurang sah. Sebab, di sinilah akan terjadi suatau kebidahan itu. (*)
Oleh KH Mu’ammal Hamidy, diambil dari buku Islam dalam Masalah Keseharian (2), Penerbit Hikmah Surabaya, 2019.