PWMU.CO – Sudah menjadi tradisi di daerah kami, setiap kali menjelang Idul Kurban, pihak sekolah mengadakan urunan kurban oleh para siswa. Tujuannya untuk melatih dan mendidik mereka gemar berkurban jika sudah dewasa nantinya.
Yang perlu kami tanyakan di sini, apakah urunan seperti itu dibenarkan oleh syariat? Dan apakah bisa disebut kurban juga? Adakah contohnya di zaman Nabi SAW?
Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih.
Fadhilah Syaibani, Magetan.
Jawab:
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, berikut ini kami cantumkan beberapa riwayat:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
Jabir bin Abdullah meriwayatkan, katanya: Kami bersama Rasulullah saw, pada tahun perdamaian Hudaibiyah pernah memotong seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang. (HR Muslim)
Pemotongan unta dan sapi di tahun Hudaibiyah tersebut adalah sebagai kafarah karena harus membatalkan ihramnya. Ini diistilahkan dengan bayar dam. Di riwayat lain, Jabir bin Abdullah mengatakan:
فَأَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَدَنَةٍ
Lalu Rasulullah saw memerintahkan kami agar bersekutu dalam (penyembelihan) unta dan sapi, yaitu untuk setiap tujuh orang dari antara kami dengan seekor budnah (unta atau sapi yang gemuk). (HR Muslim)
Hadits ini masih dalam konteks dam karena membatalkan ihram di Hudaibiyah ketika Rasulullah SAW bersama para Sahabat dihalang-halangi oleh orang kafir Makkah saat akan meneruskan perjalanannya ke Makkah. Kemudian terjadilah perjanjian yang dikenal dengan Sulhul Hudaibiyah. Sementara tentang kurban berkenaan dengan Idul Adha, Aisyah berkata:
وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
Dan Nabi SAW mengambil seekor kibas lalu dibaringkannya kemudian disembelihnya seraya berdoa: Bismillah, ya Allah terimalah ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad, kemudian disembelihnya. (HR Muslim)
Menurut hadits ini, Nabi melakukan kurban seekor kambing untuk beberapa orang. Bahkan dalam sebuah riwayat oleh Abu Ayub Al-Anshari dikatakan:
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَ كَمَا تَرَى
Adalah seseorang di zaman Rasulullah SAW yang masih hidup biasa berkurban seekor kambing untuk dirinya sendiri dan untuk keluarganya, lalu mereka makan (dagingnya) dan memberikan (sebagian) pada fakir miskin, sehingga manusia merasa bangga (senang), lalu jadilah seperti yang Anda lihat sekarang ini. (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi, sedang Tirmidzi mengabsahkannya)
Menurut riwayat-riwayat di atas, persekutuan (syirkah) dalam berkurban dengan seekor hewan, unta, sapi maupun kambing, biasa berlaku di zaman Rasulullah SAW. Dengan demikian urunan adalah dibenarkan.
Menurut pendapat kami, kurban urunan seperti yang biasa berlaku di sekolah-sekolah oleh para siswa, di samping mendidik juga sah sebagai kurban. Termasuk misalnya orangtua dan anaknya saling urunan membeli seekor kambing untuk kurban.
Perlu dimaklumi juga tentang pemotongan hewan dalam rangka “pendekatan” (qurbah atau taqarrub) kepada Allah, ada empat macam. Pertama, al-hadyu, kambing yang dipotong untuk fakir miskin Makkah. Tidak dijelaskan oleh berapa orang, bisa per orang dan bisa juga berjamaah.
Kedua, dam, yaitu kafarah bagi jamaah haji semisal hajji tamattu’ dan qiran. Setiap orang seekor kambing. Bisa ditukar dengan seekor unta/sapi untuk tujuh orang.
Ketiga, aqiqah, yaitu sembelihan berhubungan dengan kelahiran anak. Untuk seorang anak laki-laki dua ekor kambing, tidak bisa kurang. Sedangkan untuk seorang anak perempuan seekor kambing dan tidak bisa diganti sapi.
Keempat, kurban, yang berhubungan dengan Idul Adha, jumlahnya seekor, baik sapi, unta atau kambing bisa untuk beberapa orang. Berdasar keterangan di atas, kurban itu tidak bisa disamakan dengan aqiqah maupun dam. (*)
Oleh KH Mu’ammal Hamidy, diambil dari buku Islam dalam Masalah Keseharian (1), Penerbit Hikmah Surabaya.