PWMU.CO – Saya seorang karyawati di sebuah lembaga yang berlabel Islam. Selama ini manajemen mengimbau semua karyawan melakukan shalat Dhuha berjamaah secara rutin dan dilanjutkan berdoa bersama untuk memulai pekerjaan.
Yang ingin saya tanyakan, adakah tuntunan shalat Dhuha berjamaah? Sebab, setahu saya Rasulullah SAW tidak pernah memberikan contoh. Mohon penjelasannya!
Wiwin, Gersik
Jawab:
Pada umumnya berbagai shalat sunah itu dilakukan sendiri-sendiri, tidak berjamaah. Karena itu ada anjuran shalat sunah dilakukan di rumah, bukan di masjid yang pendiriannya untuk shalat berjamaah.
Adapun shalat sunah yang dilakukan dengan berjamaah di antaranya Tahajjud/Tarawih, Id, Gerhana, dan Istisqa. Selain itu, ada shalat Tuhur, Qabliyah/Badiyah, Tahiyyatul Masjid, Bakda Thawaf, dan Dhuha, yang semuanya tidak ada keterangan dilakukan secara berjamaah.
Jadi, apa yang Anda katakan, Nabi tidak pernah memberi contoh, itu memang betul. Maka, kalau kita ambil umumnya hadits yang mengatakan:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat (HR Muslim).
Berarti shalat Dhuha berjamaah itu tidak boleh karena tidak ada contoh. Tetapi, kami bisa memahami anjuran berjamaah itu sebagai upaya memberikan dorongan. Sebab, pada umumnya kita umat Islam Indonesia, mau mengerjakan anjuran beramal kebaikan itu kalau terkordinasi dan terpimpin.
Semacam doa atau wirid sesudah shalat, seharusnya dilakukan sendiri-sendiri tetapi banyak yang lamcing (salam terus pelencing/meninggalkan tempat), tidak wirid, karena tidak terpimpin.
Doa talbiyah ketika haji seharusnya juga dilakukan sendiri-sendiri, tetapi jamaah tidak mengamalkan kalau tidak dipimpin. Begitu juga halnya dengan takbiran di hari raya seharusnya sendiri-sendiri, tetapi jamaah selalu menunggu pimpinan.
Itulah kenyataan di lapangan. Jadi, gerakan shalat Dhuha berjamaah dan doa bersama seperti yang Anda sebutkan tidak lepas dari kondisi yang sedemikian itu. Kalau memang demikian keadaannya, maka untuk sementara “boleh” untuk memberi pelajaran (lit ta’liim).
Tetapi, tentu harus ada batas waktunya. Yaitu cukup beberapa saat saja dan jamaah harus diberi tahu. (*)
Oleh KH Mu’ammal Hamidy, diambil dari buku Islam dalam Masalah Keseharian (1), Penerbit Hikmah Surabaya.