PWMU.CO – Saya baru-baru ini shalat di sebuah Masjid. Di situ banyak orang yang shalat Tahiyyatul Masjid dan Bakda Jumah dengan duduk. Padahal mereka kelihatannya sehat-sehat saja.
Setahu saya, rukhshash (keringanan) shalat dengan duduk itu terjadi jika sedang udzur, seperti di atas kendaraan atau sakit. Namun, saya juga pernah mendengar jika orang shalat sunat dengan duduk itu walau boleh, tetapi pahalanya setengah dari shalat dengan berdiri. Tolong dijelaskan.
Abdul Shomad, Lamongan
Jawab: Memang betul, pada dasarnya shalat itu harus dengan berdiri, kecuali kalau udzur seperti di atas kendaraan atau sakit sebagaimana dijelaskan oleh Alquran dan dipertegas oleh Rasulullah SAW dalam beberapa haditsnya.
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Maka apabila kamu telah selasai shalat, ingatlah kepada Allah sambil berdiri, sambil duduk dan/atau sambil berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Annisa: 103)
Ayat ini sekalipun semula membicarakan perihal shalat Khauf (shalat dalam situasi gawat/perang), dan kata “dzikir” diartikan dengan dzikir bil lisan, namun dapat juga dipakai untuk shalat dalam kondisi tidak normal, dan dzikir dapat diartikan dengan shalat. Sehingga dalam hal tertentu, shalat bisa dengan berdiri, duduk, dan berbaring. Lalu, dijelaskan oleh Rasulullah SAW seputar kondisinya dalam sebuah riwayat:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Imran bin Hushain mengatakan: Aku sakit bawasir, lalu aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang bagaimana cara aku shalat. Maka jawabnya: Shalatlah dengan berdiri, jika tidak bisa maka shalatlah dengan duduk, dan jika tidak bisa maka shalatlah dengan berbaring. (HR Bukhari dan Abui Daud)
Dalam kondisi normal, shalat harus dilakukan dengan berdiri. Adapun ketika tidak normal, boleh dengan duduk atau berbaring, sesuai situasi dan kondisi. Shalat di sini umum, meliputi shalat wajib maupun sunah.
Tetapi, dalam shalat sunat terdapat beberapa keterangan atau riwayat, baik qauliyyah maupun fi’liyyah Nabi yang membolehkan shalat dengan duduk. Dalam Ilmu Ushul Fiqh, hal ini disebut istitsna’ munfashil (pengecualian yang terpisah), yaitu terpisah dari satu rangkaian kalimat. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَمُتْ حَتَّى كَانَ كَثِيرٌ مِنْ صَلَاتِهِ وَهُوَخَالِسٌ
Sesungguhnya Abu Salamah bin Abdurrahman memberitahukan bahwa Aisyah menuturkan Nabi sebelum wafat, kebanyakan shalatnya dengan duduk. (HR Muslim)
Sepintas, menurut cerita ini, shalat sambil duduk yang dilakukan Rasulullah ini ketika beliau dalam keadaan sakit. Kalau itu yang dimaksud, maka berarti belum jelas hadits ini sebagai pengecuali (istitsna’) dari keharusan shalat dengan berdiri seperti di atas.
Tetapi, ada riwayat yang lebih jelas, yaitu perihal shalat Tarawihnya Nabi SAW dengan duduk ketika menghindari intipan para Sahabat untuk bermakmum dengan beliau. Lebih jelas lagi adalah qaul (perkataan) Nabi SAW yang membenarkan shalat sunah dengan duduk.
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ نَائِمًا عِنْدِي مُضْطَجِعًا هَا هُنَا
Imran bin Hushain mengatakan: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang shalatnya seseorang dengan duduk. Jawabnya: Barang siapa shalat dengan berdiri maka itu lebih utama, dan barang siapa shalat dengan duduk, maka dia akan mendapatkan pahala separuhnya orang yang shalat dengan berdiri, dan barang siapa yang shalat dengan tidur maka dia mendapat pahala separuhnya orang yang shalat dengan duduk. Abu Abdillah mengatakan: kata “dengan tidur” itu menurut saya adalah “dengan berbaring”. Begitulah apa yang dimaksud di sini. (HR Ahmad, Bukhari dan Abu Daud)
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ حُدِّثْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ فَأَتَيْتُهُ فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي جَالِسًا فَوَضَعْتُ يَدَيَّ عَلَى رَأْسِهِ فَقَالَ مَا لَكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو قُلْتُ حُدِّثْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَّكَ قُلْتَ صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا عَلَى نِصْفِ الصَّلَاةِ وَأَنْتَ تُصَلِّي قَاعِدًا قَالَ أَجَلْ وَلَكِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُمْ
Abdullah bin Amr meriwayatkan, katanya: Aku diberitahu bahwa Rasulullah SAW bersabda: Shalatnya seseorang dengan duduk itu separuh shalat. Lalu aku datang menemui beliau, tiba-tiba aku menjumpai beliau sedang shalat sambil duduk, maka kuletakkan tanganku di kepala beliau. Maka beliau bertanya: Mengapa hal itu kamu lakukan hai Abdullah? Kujawab: Aku diberitahu bahwa tuan bersabda bahwa shalat seseorang dengan duduk itu separuh shalat, sedang aku lihat tuan kok shalat sambil duduk? Jawabnya: Betul, begitulah yang kukatakan, tetapi aku kan tidak sama dengan seorangpun di antara kalian. (HR Muslim)
Kalimat fawadla’tu yadii ‘alaa ra’sihi (kemudian kuletakkan tanganku di kepalanya) dalam hadits di atas, dalam riwayat lain berbunyi: fawadla’tu yadii ‘ala ra’sii (kemudian kuletakkan tanganku di atas kepalaku), menggambarkan berfikir penuh keheranan. Yakni, kenapa Rasul berbuat begitu? Maka jawabnya: “Betul begitu yang kukatakan …”
Dalam hadits ini jelas sekali Rasulullah SAW membenarkan shalat dengan duduk, kendati pahalanya hanya setengah dari orang yang shalat dengan berdiri. Bahkan, beliau sendiri shalat sambil duduk, kendati dapat shalat dengan berdiri. Namun, pahala shalat beliau dengan duduk itu tetap penuh, karena beliau tidak sama dengan kita. Penegasan beliau ini lebih mempertegas bolehnya shalat sunat sambil duduk, kendati bisa berdiri.
Berdasar penjelasan ini, apa yang Anda lihat di masjid dan apa yang Anda dengar, adalah betul. Lebih lanjut dapat dibaca kitab al-Mughni, karya Ibnu Quddamah, Jilid 2 halaman 567. (*)
Oleh KH Mu’ammal Hamidy, diambil dari buku Islam dalam Masalah Keseharian, Penerbit Hikmah Surabaya.