PWMU.CO – Empat tahun yang lalu, tepatnya bulan Desember 2015, saya punya pengalaman menarik ketika berkunjung ke Singapura untuk suatu keperluan.
Sekitar pukul 4.00 PM, saya mendarat di Changi Airport Singapore. Karena belum shalat Ashar, saya segera mencari tempat shalat untuk mengerjakannya. Tidak begitu sulit, tempat shalat pun akhirnya saya temukan. Di depan tempat shalat tersebut saya menemukan tulisan yang menarik: “Multi-Religion Prayer Room”.
Sambil melepas sepatu saya terus membaca tulisan di bawahnya, ada lima poin dalam tulisan itu: 1). Passenger of Any Religion May Use This Room to Pray or Meditate. 2). Please Observe Solemness and Do Not Disturb other Users of The Prayer Room. 3). Kindly Remove your Footwear Before Entering and Place Them in The Shoe Rack Provided Inside the Room. 4). Do Not Leave Behind any Personal Items. 5). Please Keep the Prayer Room Clean.
Dalam bahasa Indonesia, lima ketentuan itu berarti: 1). Penumpang dari berbagai macam agama boleh menggunakan ruangan ini untuk ibadah atau meditasi; 2). Beribadahlah dengan khidmat dan jangan mengganggu penganut agama lain yang sedang beribadah; 3). Mohon melepas alas kaki sebelum memasuki ruangan dan letakan di rak sepatu yang ada di dalam ruangan; 4). Jangan meninggalkan barang pribadi di dalam; dan 5). Jaga kebersihan ruangan.
Otak saya langsung teringat John Hick dengan Global Theology-nya dan Fritjhof Schuon dengan Transcendent Unity of Religion-ya. Wah, rupanya agama bukan hanya bersatu pada level transcendent tapi sudah aplikatif, agama juga bersatu pada level in-transcendent.
Saya tidak sabar untuk memasuki ruang itu. Pikiran saya sudah menerka-nerka, apakah di dalam akan ada sekat-sekat yang memisah antaragama dalam beribadah, ataukah tidak? Lantas bagaimana jika di samping kita ada umat Kristiani yang sedang beribadah dengan bernyanyi Haleluya; di samping lagi ada umat Budha dan Hindu beribadah dengan amitaba. Ah… saya harus segera masuk.
Ketika saya masuk, saya tidak mendapati sekat-sekat pemisah yang saya bayangkan tadi. Semua dalam satu ruangan tanpa sekat pemisah antaragama. Saya amati di setiap sudut ruangan, tidak saya jumpai penganut agama lain yang sedang beribadah, hanya ada tiga orang Islam yang sedang menunaikan shalat Ashar.
Saya mencoba mengingat kembali, hari apakah ini? Oh ternyata hari Jumat, pantas umat Nasrani tidak saya dapati satu orang pun. Padahal saya berharap sekali dapat menyaksikan bagaimana berbagai macam agama menjalankan ibadah dalam satu ruang tanpa sekat.
Bersatunya agama-agama pada level transcendent merupakan gagasan Schuon. Dia membagi agama menjadi dua tingkatan: tingkat esoterik (transcendent) dan tingkat eksoterik (in-transcendent). Pada tingkat eksoterik agama-agama memiliki pemaknaan konsep Tuhan yang berbeda-beda dan ajaran teologi yang berbeda-beda pula.
Namun pada tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki tuhan yang sama, yang abstrak dan tidak terbatas. Dalam bahasa S.H. Nasr, Tuhan itu disebut dengan The One.
Karenanya dalam perspektif pluralisme agama, tidak boleh ada satu agama pun di dunia ini yang mengklaim bahwa agamanya paling benar, karena pada hakikatnya semua agama menuju Tuhan yang sama dan menuju pada surga yang sama pula.
Karenanya truth claim sangat dilarang dalam perspektif pluralisme agama, karena semua agama sama-sama benarnya. Sebagaimana semboyannya: “No View is True, or that all View are Equally True.” Artinya, “Tidak ada pandangan (agama) yang benar atau semua pandangan (agama) adalah sama benar.”
Sebenarnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah pernah mengharamkan pluralisme agama, namun ketika ada beberapa kalangan yang protes, tidak ditanggapi oleh MUI dengan argumen yang ilmiah, detail dan dapat dipertahankan, karenanya gagasan tersebut masih terus berkembang di Indonesia.
Pembacaan saya terhadap bersatunya agama pada level in-trancendent tidak lantas kemudian menganggap perbedaan konsep ketuhanan dan ajaran teologi tersebut sudah melebur dan bersatu, tidak.
Konsep mereka tentang tuhan dan ajaran teologi tetap saja berbeda, namun saya membaca ada upaya peleburan makna tentang konsep tuhan dan ajaran teologi secara bertahap. Mungkin diawali dengan bersatunya tempat ibadah mereka, sehingga suatu saat tidak ada lagi masjid.
Yang ada adalah sebuah tempat bertuliskan “tempat ibadah”, mungkin jam 12.00 digunakan shalat Dhuhur, satu jam kemudian digunakan kaum Nasrani, satu jam lagi digunakan kaum Hindu atau Budha. Mereka akan berdalih, efisiensi tempat dan anggaran.
Atau bahkan bisa jadi suatu saat, seorang Nasrani beribadah menggunakan sarung dan kopyah, orang Islam shalat menggunakan pakaian orang Hindu. Sedang orang Hindu beribadah menggunakan jas dan dasi. Bahkan seorang biksu tidak lagi botak tapi gondrong, orang Nasrani tidak cukup berkumis, bisa jadi juga berjenggot panjang dan bercelana cingkrang. Demikian orang Islam, tidak lagi berambut dan berjenggot, tapi bisa jadi botak.
Jika pada level esoterik berhasil mereka leburkan, tidak menutup kemungkinan pada level eksoterik juga akan mereka satukan, sehingga makna agama menjadi rancu. Kebenaran menjadi relatif dan nisbi, agama tidak lagi menjadi sesuatu yang disakralkan.
Peleburan makna agama baik pada level transcendent maupun in-transcendent akan berdampak kaburnya makna “kebenaran”, sehingga manusia tidak lagi punya tolak ukur kebenaran. (*)
Oleh M. Arfan Mu’ammar, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.