Syukur kedua, berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, terutama ilmu astronomi (di dalamnya ada ilmu hisab), yang bisa memprediksi “taqdir” terjadinya gerhana matahari. Kapan dan di mana akan terjadi gerhana, sudah bisa ditentukan jauh-jauh hari. Rasa syukur itu lebih dalam karena ilmu pengetahuan itu menjadi semacam tafsir Alquran, yang ayat-ayatnya cukup banyak berbicara tentang alam semesta.
Saya menangis, ingat yang saya sampaikan itu. Duhai, betapa sempurnanya Islam yang Allah turunkan, tidak hanya berbicara tentang fenomena sosial, tetapi juga fenomena alam semesta. Inilah Islam; Islam yang berkemajuan.
Syukur ketiga, berkaitan dengan kesempatan bisa menyaksikan gerhana matahari. Ini langka, sebuah anugerah besar. Bisa menyaksikan suasana temaram, bahkan gelap, di siang hari. Juga bisa shalat kusuf. Tidak semua orang diberi anugerah itu. Seperti tidak semua orang berkesempatan pergi haji.
Dalam sendirian di kendaraan; saya menangis. Dan semakin tersedu saat tersadar tentang siapa penggagas gerhana matahari itu. Duh, Allah, Engkau Mahabesar. Sepuluh menit saja Kau halangi matahari dengan bulan, bumi sudah gelap. Lantas bagaimana, jika Kau hadirkan fenomena “gelap” yang lebih lama lagi?
Maka, rasa syukur itu lebih dalam jika gerhana mampu membuat kita tersungkur di hadapan-Nya. Lalu saya teringat saat kemarin mengutip surat Ali Imran: Duh, Tuhanku, tidak sia-sia apa yang Engkau ciptakan, Mahasuci Engkau dan jagalah kami dari siksa neraka. Amin! (*)
Mohammad Nurfatoni
Redaktur PWMU.CO