Menjelang Subuh saya sudah berwudhu, tetapi kemudian ngleset sebentar dan tanpa terasa tertidur. Lalu saya bangun untuk shalat Subuh tanpa wudhu lagi. Apakah shalat saya sah? Atas jawaban ustadz, saya sampaikan terima kasih.
Abdul Kahar, Pasuruan.
Jawab:
Hadits yang membicarakan perihal tidur membatalkan atau tidaknya wudhu ini sangat banyak. Ada yang membatalkan dan ada yang tidak, sehingga ada delapan mazdhab ata pendapat dengan berbagai tinjauan lamanya tidur, posisi, dan sebagainya.
Lebih lanjut masalah ini bisa dibaca di Nailul Auhar, karya al-Syaukani, terjemah Mu’ammal Hamidy Lc Jilid I, halaman 162 dan seterusnya.
Sementara tentang kasus yang sedang Anda hadapi ini ada riwayat seperti di bawah ini:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حَتَّى تُخَفِّقُ رُءُوْسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ
Anas meriwayatkan, katanya: Para Sahabat Rasulullah SAW pernah menunggu shalat Isya’ hingga kepala mereka menunduk (ketiduran) kemudian shalat tanpa wudhu lagi. (HR Baihaqi)
Bahkan ada riwayat yang lebih tegas lagi perihal tidurnya Nabi SAW yang ternyata tidak membatalkan wudhu.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ نِمْتُ عِنْدَ مَيْمُونَةَ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي فَقُمْتُ عَلَي يَسَارِهِ فَأَخَذَنِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ نَامَ حَتَّى نَفَخَ وَ كَانَ إِذَا نَامَ نَفَخَ ثُمَّ أَتَاهُ الْمُؤَذِّنُ فَخَرَجَ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Ibnu Abbas meriwayatkan, katanya: Aku bermalam di rumah bibiku Maimunah, sedang Nabi waktu itu di malam hari di tempat bibi. Lalu beliau berwudhu kemudian shalat. Aku berdiri di sebelah kiri beliau, lalu aku ditarik ditempatkan di sebelah kanannya.
Waktu itu beliau shalat Malam sebanyak tiga belas rakaat. Lalu tidur, hingga mendengkur, dan memang sudah menjadi kebiasaan beliau kalau tidur mendengkur. Kamudian tibalah saatnya muadzin mengumandangkan adzan Subuh. Lalu beliau keluar (ke masjid) dan shalat tanpa berwudhu lagi. (HR Bukhari)
Dipermasalahkannya tidur sebagai membatalkan wudhu itu, karena ketika dalam tidur diragukan tidak terjadinya hadas, utamanya kentut. Namun, dalam kaidah fiqhiyah, dalam kasus seperti itu dikatakan:
اَلأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Asal keadaan sesuatu itu seperti keadaannya semula.
Yaitu, karena semula ada wudhu, maka ketika bangun dianggap wudhu itu masih ada. Sebutan lainnya adalah al-bara’atul ashliyah, kembali seperti keadaan semula.
Demikian sekitar permasalahan tidur membatalkan wudhu atau tidaknya. Tinggal permasalahannya adalah kemantapan. Kami rasa kasus seperti ini dapat diukur sendiri berdasarkan kebiasaan dan kepatutan. Kalau ngleset-nya hanya sebentar dan tidak terbiasa kentut, ya bolehlah tidak wudhu lagi. Begitu pula tentang posisi tidur, bisa dijadikan pertimbangan. (*)
Oleh KH Mu’ammal Hamidy Lc, diambil dari buku Islam dalam Masalah Keseharian, Penerbit Hikmah Surabaya.