PWMU.CO – Wacana Menristekdikti M Nasir mendatangkan tenaga asing untuk ditempatkan menjadi rektor di perguruan tinggi Indonesia disorot Anggota DPR RI terpilih Prof Zainuddin Maliki. Dia menilai kebijakan impor rektor itu justru kontraproduktif.
“Dengan impor rektor dari luar negeri, Menristekdikti sejatinya memimpikan peningkatan rangking perguruan tinggi Indonesia yang selama ini masih tertinggal dibanding dengan yang dicapai oleh Malaysia, Singapura, atau lainnya. Tapi impian itu belum tentu bisa terwujud,” ujarnya ketika dihubungi PWMU.CO, Rabu (7/8/19).
Menurut Zainuddin, kebijakan impor rektor justru sangat berisiko membuat hilangnya rasa percaya diri di kalangan praktisi dan akademisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia karena dianggap tidak memiliki kapasitas untuk memajukan perguruan tinggi di Indonesia.
“Faktanya memang perguruan tinggi terbaik di Indonesia masih berada di bawah lima perguruan tinggi papan atas Malaysia. Tapi kebijakan impor rektor justru akan membuat hilangnya rasa percaya diri para akademisi kita, dan pastinya berdampak tidak positif bagi peningkatan kualitas,” paparnya.
Pria asal Tulungagung itu malah menengarai, rendahnya rangking perguruan tinggi Indonesia lebih disebabkan karena pola rekruitmen rektor yang kurang pas dan itu patut untuk dikritisi. Pasalnya, intervensi Menristekdikti dalam penentuan rektor sangat besar, yakni dengan bobot hak suara sebesar 35 persen.
“Kebijakan ini sangat memengaruhi kualitas dan kapasitas rektor perguruan tinggi terpilih. Dalam sistem pemilihan rektor seperti ini sangat besar kemungkinan mereka yang memiliki kapasitas dan integritas tinggi justru tidak terpilih,” ungkap Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya periode 2003-2007 dan 2007-2011 ini.
Apalagi, menurutnya, mencuat rumor adanya jual beli jabatan rektor yang itu patut untuk dicermati guna menjawab mengapa selama ini Indonesia belum bisa memperoleh rektor yang berkualitas dan berintegritas. Bahkan, KPK sempat menengarai bahwa hak suara menteri sebesar 35 persen menyebabkan rawan korupsi dalam pemilihan rektor.
“Kalau selama ini benar-benar yang terpilih adalah akademisi dan praktisi pendidikan tinggi yang berkualitas dan berintegritas, saya yakin rangking perguruan tinggi kita tidak akan kalah dengan negara-negara lain,” ungkapnya.
Maka, pintanya, pastikan yang terpilih menjadi rektor perguruan tinggi di Indonesia adalah mereka yang berkapasitas dan berintegritas. “Jangan remehkan dan underestimate terhadap potensi mereka,” tuturnya.
Ia lalu mencontohkan keberhasilan Rektor UGM yang bisa menaikkan rangking UGM dari 391 menjadi 320. Juga Rektor ITB yang sukses menaikkan rangking dari 359 ke 331. Pun demikian dengan Rektor Unair yang bisa menaikan petingkat dari 751-800 ke 651-700. “Jadi solusinya adalah benahi pola rekruitmen rektor. Bukan malah impor ektor,” kritiknya.
Sanada dengan itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Dr Hidayatulloh mengatakan, sejak awal kebijakan yang digulirkan oleh Menristekdikti untuk mendatangkan rektor dari luar negeri telah mendapat penolakan dari banyak pihak, terutama para akademisi di kampus.
“Jika ingin menaikkan posisi perguruan tinggi Indonesia di pentas dunia, maka banyak variabel yang perlu diperhatikan. Mulai dari kebijakan pemerintah, kemampuan anggaran pendidikan, kesiapan sumber daya manusia (SDM), sampai pada kondisi sarana dan prasarana perguruan tinggi itu sendiri,” jelasnya.
Pak Dayat—sapaannya—menegaskan, sebenarnya di dalam negeri banyak orang hebat. Demikian juga banyak orang Indonesia di luar negeri yang juga hebat-hebat.
“Kalau mereka ini diberi tugas dan tanggung jawab serta ditopang oleh kebijakan yang tepat dan anggaran yang memadai, maka perguruan tinggi di Indonesia bisa mengalami kemajuan yang signifikan. Kalau di dalam negeri ada tenaga ahli yang hebat, mengapa harus mencari di luar negeri?” tandasnya. (*)
Reporter Aan Hariyanto. Editor Mohammad Nurfatoni.