
PWMU.CO – Abu Bakar adalah satu satu Sahabat yang gemar memerdekakan budak pada saat itu. Karena hobinya memerdekakan budak, hampir seluruh hartanya dihabiskan untuk itu, sampai-sampai ayah Abu Bakar berkata begini: “Aku melihatmu memerdekakan budak-budak lemah tak berdaya. Sekiranya yang kamu merdekakan adalah budak-budak yang kuat, tentu mereka mampu melindungimu.”
Antara satu budak dengan budak yang lain memiliki harga yang berbeda. Semakin kuat budak itu, semakin mahal harganya. Semakin lemah budak itu, semakin murah harganya. Lha budak-budak yang dibeli Abu Bakar adalah budak-budak yang masuk Islam, yang disiksa oleh para majikannya. Ketika budak itu lemah tak berdaya, bahkan hampir mati akibat siksaan, Abu Bakar membelinya. Tapi tidak untuk dimanfaatkan, atau dipekerjakan, justru budak itu dimerdekakan.
Di era saat ini, praktik perbudakan memang sudah tidak kita jumpai lagi. Karena itu melanggar hak asasi manusia (HAM). Namun, di era serba digital ini sebenarnya, sadar atau tidak, kita telah menjadi budak dan diperbudak oleh teknologi.
Ciri seorang budak itu menurut dengan majikannya, bagaimana pun keadaannya. Bahkan untuk ngurus dirinya sendiri dia tidak sempat, karena waktu dihabiskan untuk mengabdikan diri pada majikannya. Majikan yang utama, selain itu secondary.
Jika sedang mengerjakan urusan pribadi, tiba-tiba majikan memanggil, maka urusan pribadi harus segera ditinggal. Tidak ada yang lebih penting dari majikan, bahkan untuk mengurus dirinya. Itu nomer sekian.
Saya punya teman, kalau sedang main game online, yang lain lupa. Makan lupa, shalat lupa, bahkan mandi pun lupa. Saya jadi ingat film Shazam, salah satu anak angkat keluarga Shazam pecandu game, dia bahkan tidak sadar kalau sudah malam, dikiranya masih siang.
Atau seorang anak yang suka menonton YouTube berjam-jam. Lupa belajar, lupa makan. Panggilan ibunya pun tidak terdengar.
Anak-anak atau orang-orang semacam ini telah menjadi budak teknologi. Terkungkung dalam ruang kehidupan digital. Dia tak mampu berhenti. Sulit untuk keluar. Karena mereka telah tersesat dalam keramaian data digital.
Tersesat?
Iya.
Pernahkah Anda ingin berkirim WhatsApp ke teman kerja atau ke bawahan. Ingin menginstruksikan sesuatu. Atau berkoordinasi pekerjaan. Tapi ketika membuka WhatsApp Anda melihat notifikasi dari teman lain, membalasnya, lalu membuka grup, berdialog, bercanda. Teman di grup men-share video atau link. Menarik, lalu Anda klik, Anda masuk di website itu, membaca, setelah tuntas di bawah ada artikel lain yang menarik atau ada gambar yang menarik, atau video yang menarik. Anda tidak sadar, sudah satu jam berlalu. Anda seakan tak bisa berhenti, terus berselancar ke dunia maya.
Setelah cukup lama, Anda lelah, lalu menaruh handphone di atas meja. Beberapa menit kemudian baru sadar, “Lho saya tadi kan mau WhatsApp si A untuk koordinasi pekerjaan?”
Ya… Anda telah tersesat. Tersesat di tengah keramaian data yang sudah crowded. Saking crowded-nya Anda lupa dengan tujuan awal membuka handphone. Seandainya alur data yang setiap hari berseliweran di dunia maya itu di tampakkan di udara, di depan mata kita. Betapa penuhnya dunia ini. Betapa crowded-nya dunia ini. Persis dengan apa yang digambarkan Thomas L Friedman dalam bukunya Hot, Flat and Crowded: Why We Need a Green Revolution and How it Can Renew America.
Selain itu, ciri lain dari seorang budak adalah ketergantungan. Seorang budak pasti sangat bergantung dengan majikan. Dia tidak akan bisa hidup kalau tidak dengan majikannya. Makan dan tidur, semua dari majikan.
Masihkah Anda ingat, ketika ramai-ramainya Pilpres 2019, Kemenkominfo membatasi akses internet. Orang-orang pada heboh. Tidak bisa berkirim foto via WhatsApp. Padahal itu baru dibatasi, bukan dimatikan. Mereka yang sudah ketergantungan dengan teknologi, akan susah hidupnya jika dijauhkan atau dibatasi.
Memang teknologi saat ini menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-sehari. Tapi jangan sampai media sosial, aplikasi, game menjadikan Anda addict (ketagihan, kecanduan dan ketergantungan).
Oleh sebab itu, ketersesatan dan ketergantungan pada media sosial dan teknologi inilah yang perlu dimerdekakan. Jangan biarkan media sosial dan teknologi merampas kemerdekaan Anda.
Kita adalah pribadi yang merdeka. Merdeka dari tekanan, merdeka dari hawa nafsu, merdeka dari ketergantungan, merdeka dari ketersesatan. Merdeka dari apa pun. Merdeka! (*)
Kolom oleh M Arfan Mu’ammar, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.