PWMU.CO– Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Dr Din Syamsuddin prihatin dengan pernyataan-pernyataan pejabat negara yang menyudutkan umat Islam dengan tuduhan radikalisme.
Kali ini dia menyesalkan pernyataan Ketua Umum Gerakan Suluh Kebangsaan Mohammad Mahfud MD. Mantan Menteri Pertahanan era Presiden Gus Dur itu mengatakan, ada ulama radikal dari Arab Saudi yang lolos dari penangkapan pemerintahnya datang ke Indonesia membawa uang jutaan dolar AS untuk menyebarkan paham radikal.
Menurut Din Syamsuddin, semestinya lebih baik Mahfud MD menjelaskan secara rinci dan melaporkannya ke polisi. ”Kalau tidak, maka hal itu sama dengan menyebar fitnah yang menyakiti hati kelompok Islam dan berbahaya bagi kerukunan bangsa,” kata Din Syamsuddin kepada PWMU.CO, Ahad (18/8/2019).
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengatakan, belakangan ini kalangan Islam menjadi tertuduh. Terutama dengan digunakannya isu radikalisme yang tendensius mengarah hanya ke kalangan Islam.
”Kita semua menolak radikalisme, tapi semua pihak harus berkeadilan untuk melihat radikalisme tidak hanya bermotif keagamaan. Juga dilakukan kelompok isme-isme lain, seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, bahkan radikalisme politik yang cenderung berkuasa demi kekuasaan itu sendiri,” tegasnya.
Sekarang ini, sambung dia, banyak yang ingin bersembunyi di balik Pancasila dengan menuduh pihak lain sebagai anti Pancasila dan mengklaim dirinya paling Pancasila. Padahal pada saat yang sama mereka memanipulasi Pancasila itu sendiri untuk kepentingan kekuasaan, politik, atau kelompoknya.
Seperti diberitakan, Ketua Umum Gerakan Suluh Kebangsaan Mohammad Mahfud MD menyatakan, ada fenomena baru dalam pergerakan paham radikal di Indonesia. Disebutkan, Indonesia menjadi sasaran kalangan radikal dari negara lain.
”Sekarang di Saudi Arabia terjadi penangkapan terhadap ulama yang radikal. Yang belum tertangkap, lari ke Indonesia dengan membawa jutaan dolar untuk mendukung gerakan radikal,” kata Mahfud MD kepada wartawan di sela Diskusi Gerakan Suluh Kebangsaan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Jumat (16/8/19).
Para ulama radikal itu, menurut dia, menyokong pendirikan pesantren di beberapa kota di Indonesia. Tujuannya sebagai sarana penyebaran paham radikal.
Indikasi pesantren terpapar radikalisme itu, tambah dia, biasanya tertutup atau bersifat eksklusif dari orang luar. Di pesantren itu juga dilarang memberikan penghormatan kepada bendera Merah Putih, upacara, dan lambang burung Garuda.
Di beberapa tempat, ada lembaga pendidikan yang tidak dikenal. Dengan murid yang banyak tapi tertutup. Sebaran pesantren seperti ini ada di Yogyakarta dan Magelang. Tiba-tiba pesantren ini jadi besar.
Mahfud mengamini potensi radikalisme pasca Pemilu semakin menguat. Menurutnya, banyak masyarakat Indonesia kerap kali mengkafirkan muslim lainnya.
”Biasanya banyak pengikut gerakan radikal orang yang belajar cepat bahasa Arab dan Alquran. Tiga hari bisa baca Arab, tidak tahu tafsirnya, nahwu sharafnya, tiba-tiba membuat tafsir di berbagai medsos. Padahal yang dihadapi orang yang sudah lebih dari 50 tahun belajar agama, disalah-salahkan, dikafir-kafirkan,” terangnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto