PWMU.CO -Di antara bangunan kuno di Simpang Tiga Red Square Malaka Malaysia ada Surau Warisan. Bangunannya sederhana. Letaknya sederetan dengan Christ Church dan Malaka Art Gallery.
Bentuk atap surau ini berbentuk limas susun dua. Di puncaknya ada mahkota bercat putih. Seperti lazimnya arsitekur lokal pada langgar atau masjid di Indonesia dulu sebelum tren pakai kubah.
Surau ini dibangun zaman Kesultanan Malaka. Kini dilestarikan menjadi salah satu warisan dunia yang diakui UNESCO. Lantai dasarnya digunakan untuk Tourist Information Centre.
Senin (19/8/2019) pagi, lantai surau sedang dibersihkan Ridwan Abdullah. Marbot surau yang sudah dua tahun bekerja di surai yang berseberangan dengan Clock Tower itu. Surau ini masih dipakai shalat berjamaah lima waktu. Jika waktu shalat tiba, Ridwan membuka pintunya.
”Bukanya nanti jam satu siang, saat masuk waktu shalat Duhur,” ujar bapak dua anak berusia 48 tahun itu dalam bahasa Melayu. Jika dibuka setiap saat, sambung dia, banyak turis non-muslim yang karena ketidaktahuannya sembarangan masuk tanpa melepas sepatu.
Dia menjelaskan, surau ini terbuka untuk semua turis. Muslim maupun non-muslim. Jika turis datang dia melayani. ”Kita tidak pernah tahu hidayah Allah datangnya kapan. Mungkin saja Allah turunkan saat masuk Surau Warisan ini,” ungkapnya diiringi senyum.
Ridwan kelahiran Malaka dari keluarga India. Dia mengaku waktu kecil beragama Hindu. ”Kedua orangtua meninggal dunia saat saya berumur sepuluh tahun,” cerita dia. Setelah itu dia hidup dalam panti asuhan di Malaka.
Saat di panti asuhan itulah pengalaman spiritualnya dimulai. Asrama, sebutan panti asuhan di Malaka, milik negara. Penghuninya tidak dibedakan dari latar belakang agama. ”Semua agama ada di asrama, Islam, Kristen, Katolik, atau Hindu,” ujar Ridwan yang waktu kecil bernama Maren.
Letak asrama ini berdekatan dengan pondok pesantren. Tiap hari orang pondok membaca Alquran. Suara bacaan ayat suci itu terdengar sampai ke asrama. Bacaan kalam ilahi itu menggugah relung terdalam kalbunya. Hidayah lambat-laun mulai menyapanya.
”Saat umur 18 tahun dan keluar dari asrama, waktu itulah pencarianku tentang Islam dimulai,” tuturnya. Di Malaysia, syarat umur untuk memutuskan agama sendiri adalah 18 tahun.
Dia lalu belajar Islam. Bergabung dengan Bina Islam, salah satu sayap dakwah Majelis Agama Islam Malaysia (MAIM). Di sanalah dia belajar pada almarhum Ustadz Rahmat Dahwar. ”Alhamdulillah, tahun 2017 saya diberangkatkan MAIM umroh ke Mekkah,” ujar Ridwan.
Bagi Ridwan, menjadi muslim tidak boleh sebatas lisan. ”Bila cinta Islam, maka harus benar-benar belajar. Jangan semata-mata kita berislam saja di bibir tapi tidak di hati,” tutur dia.
Prinsip itu diterapkan pada dirinya. Bertugas dari pukul 7 pagi, dia membersihkan seluruh areal dalam dan luar masjid. Pekerjaan itu tak melunturkan semangat belajar agama. ”Saya tetap belajar pada Bina Islam. Agar iman saya tetap kukuh,” ujarnya.
Dia berpesan tetap menjaga shalat, mempelajari sifat-sifat Allah dan malaikat. ”Semoga kita nanti dikumpulkan Allah di jannahNya,” ujarnya. (*)
Penulis Darul Setiawan Editor Sugeng Purwanto