PWMU.CO – Mungkin umat Islam di Indonesia sejak tahun 1990-an diperkenalkan untuk mendengar bacaan al-Qu’ran dengan bunyi yang sedikit berbeda. Salah satunya adalah membunyikan “e” seperti orang menyebut senang atau karena, dalam akhir ayat. Jika biasanya hanya mendengar lewat kaset, MP3, DVD, dan sejenisnya, jamaah masjid An-Nur, Sidoarjo, bisa mendengar secara live, langsung. Malam itu, Sabtu (18/6), sang imam-hafidz dari Mesir, Tabarak Kamil el-Laboody, membaca surat al-Lail dengan suara “e” setiap akhir ayat.
“Karena bacaan ini memang tidak populer di telinga umat Islam Indonesia, wajar jika jamaah pun berbisik-bisik mengomentari bacaan imam,” jelas salah satu jamaah yang juga guru SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo, Moh Ernam SPd. Maklum saja jika jamaah “berbisik-bisik”. Selain karena bunyinya memang berbeda dengan yang dipelajari di sekolah maupun taman pendidikan al-Quran selama ini, banyak yang belum terbiasa mendengar secara langsung.
(Baca: Serunya Tarawih dengan 3 Hafidz Internasional yang Bergantian Jadi Imam dan Ayu Gadis Tunanetra Itu ‘Sihir’ Peserta Kajian Ramadhan Muhammadiyah Jatim)
Momen “A” menjadi “E” itu didapat oleh jamaah ketika memasuki shalat witir. Tabarak mengawali rakaat pertama dengan surat Al-A’la dengan dialek yang agak beda dengan yang biasa dibaca umat Islam di Indonesia. “Sabbihis ma rabbikal A’lee. Alladzii khalaqa fasawwee. Walladzii qaddaro fahadee,” begitu suara merdu Tabarak beriringan dengan hujan yang mengguyur kota Sidoarjo.
“Ya, bacaan atau qiraah yang dibaca oleh Tabarak itu dalam ilmu tajwid disebut imalah. Atau lebih tepatnya disebut dengan imalah shugro atau taqlil menurut riwayat Warosy,” jelas kandidat Doktor UIN Sunan Surabaya, Sholikh al-Huda. Menurutnya, bacaan a menjadi e itu merupakan berdasarkan pada salah satu perawi Nafi bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim Al Laitsi, seorang imam qiroat madzhab Madinah.
(Baca: Bolehkah Kita Berdoa dengan Potongan Ayat al-Qur’an? dan Dibalik Liputan Safari Ramadhan SCTV tentang Pembelajaran Qur’an Metode Tajdied)
“Sementara bacaan Qur’an yang banyak beredar di Indonesia adalah dominan riwayat Imam Hafsh, sehingga kurang terbiasa dengan dialek lain,” tambah Sholikh.
Tak heran, ketika kaset bacaan “A” menjadi “E” beredar di masyarakat pada era 1990-an menimbulkan kontra.
Dan kini, tahun 2016, ia justru menjadi kenikmatan tersendiri bagi jamaah. Dan beruntunglah, mereka yang menjadi jamaah masjid An-Nur, masjid Muhammadiyah yang terletak di Jl. Mojopahit 666-b, Sidoarjo. (iqbal paradis)