PWMU.CO – Di kawasan pantai timur. Sekitaran Bedok Singapura, Masjid Kampung Siglap seperti memberi ruh kawasan yang sibuk ini. Tempat bertemunya kaum muslim di setiap waktu shalat. Orang Melayu, India, dan Timur Tengah.
Dinding gedung dan menara yang berwarna merah sangat mencolok mata. Membedakan dengan warna gedung-gedung di deretan sebelahnya. Atap gedung dan menara model pelana. Bukan kubah.
Saat week end masjid ini malah ramai. Kedatangan orangtua, remaja, dan anak-anak. Belajar mengaji, tahfidh Quran, tilawah, atau mendengar ceramah.
”Dulu kawasan ini kampung nelayan yang dibangun oleh pendatang dari jauh. Kebanyakan orang-orang Bugis,” kata Dr Muhammad Amin, takmir masjid yang ditemui Ahad (18/8/2019) lalu.
”Penggeraknya orang Bugis dikenal dengan Penghulu Tok Lasam,” tambahnya. Makam Penghulu Tok Lasam ada di dekat masjid ini.
Menurut cerita turun-temurun yang berkembang, sambung Muhammad Amin, dulu tempatnya masih gelap. Dari situ muncul sebutan kampung si gelap. ”Lama-lama si gelap menjadi siglap, jadilah sebutan Kampung Siglap,” tuturnya sambil tertawa.
Awalnya masjid dibangun di perkampungan nelayan. Dari kayu. Dekat pantai. Sekitar tahun 1840. ”Karena berdekatan dengan laut, sering terkena hujan dan angin sehingga roboh dan dipindahkan lagi. Kemudian roboh lagi dan dipindahkan lagi,” ujar alumnus Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Berulang kali rusak akhirnya dibangun masjid lagi di tempat sekarang ini. Itu tahun 1940. Dibangun oleh penduduk kampung yang digerakkan oleh penghulu nasab atau keturunan Penghulu Tok Lasam.
Arsitekturnya gaya nusantara. Atap limas bersusun dua. Dinding dari tembok. Dibagi ruang utama untuk shalat dan pengajian. Di luar ada teras yang ditopang beberapa pilar. Teras depan dibuatkan atap pendapa.
”Lokasi masjid yang kita duduki sekarang ini dulunya pantai, tetapi karena sudah ditambak (diuruk) maka sekarang menjadi daratan,” paparnya.
Karena jumlah jamaah dan kegiatan makin banyak lantas takmir membangun lagi masjid lebih luas pada 1992. Letaknya di sebelah kanan masjid lama. ”Jadi dalam kompleks ini ada masjid dalam masjid,” katanya.
Masjid lama digunakan kegiatan tahfidh. Di mihrab masih ada mimbar lama dari kayu jati. Punya tiga tangga dinaiki untuk duduk di bagian atas.
Jika shalat Jumat di masjid baru jamaahnya sampai meluber hingga di masjid ini.
Pendanaan pembangunan masjid modern ini dari umat Islam. Dua tahun setelah dibangun, masjid ini kebakaran. ”Setelah kebakaran, umat Islam di sini berusaha keras membangunnya lagi. Tidak minta bantuan pemerintah,” ujarnya.
Setiap masjid di Singapura ada pendanaan sendiri. Bantuan pemerintah disalurkan melalui Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). ”Setiap bulan gaji orang Islam dipotong, berkisar 2-5 dollar. Dana yang terkumpul disalurkan oleh MUIS untuk memberikan bantuan kepada kalangan muslim yang tidak mampu, baik dalam bentuk pembagian zakat, beasiswa, dan santunan dakwah,” pungkasnya. (*)
Penulis Sugiran Editor Sugeng Purwanto