PWMU.CO – Memasuki teras Masjid Kampung Siglap lama Singapura terdengar sayup-sayup suara anak murajaah Alquran. Ruang utama masjid tertutup dengan jendela kaca besar. Aktivitas di dalamnya bisa dilihat dari teras. Pintu masuknya tinggi 3 meter dan lebar 1,5 meter.
Sampai di ruang utama udara terasa sejuk karena terpasang dua AC di kanan kiri. Suara hafalan terdengar lebih keras. Tapi tidak sampai membuat bising. Di telinga tidak terdengar begitu jelas ayat-ayat apa saja yang dibaca. Sebab suaranya campur baur menjadi satu. Rupanya anak-anak ini hafalan suratnya berbeda-beda. Ada 15 siswa ikut hafalan Alquran. Mereka ditangani dua guru.
”Masjid Kampung Siglap lama ini jadi tempat tahfidh Quran,” kata Dr Muhammad Amin, takmir masjid yang mendampingi kunjungan pada Ahad (18/8/2019). ”Pelajaran disampaikan Sabtu-Ahad,” tambahnya.
Tempat ini, sambung dia, tidak lagi dipakai shalat lima waktu. Shalat memakai masjid baru. Kecuali waktu shalat Jumat. Jamaahnya yang penuh juga mengisi ruang masjid ini.
Anak-anak tahfidh ini rutin datang tiap akhir pekan. ”Meskipun Ahad, siswa tahfidz tetap masuk. Yang tidak masuk tidak ada sanksi. Tetapi jarang sekali yangtidak masuk,” ujar Amin yang lulusan Universitas Muhammadiyah Malang.
Dalam ruang itu ada meja mengaji ditata memanjang diletakkan di dua sisi. Siswa yang proses menghafal berada di meja itu. Duduk lesehan di atas karpet warna krem. Jika sudah hafal surat Alquran, dia ambil baris antrean menghadap guru untuk dites hafalan, makhraj, dan tajwidnya. Bisa memilih satu di antara dua guru.
Ini semacam sistem sorogan kalau di pesantren kita. Santri belajar sendiri hafalan Quran atau kitab. Setelah hafal dan menguasai lalu setor hafalan ke kiai.
Meskipun kedatangan tamu yang melihat masjid ini pelajaran tidak terganggu. Murajaah halan terus. Para siswa ini generasi muda muslim Singapura yang meneruskan perjuangan dakwah Islam di negeri ini. Anak-anak muda yang mengaji di tempat ini menjadikan Islam tetap bertahan meskipun kian menjadi minoritas.
Masjid lama ini berada di tengah bangunan yang bersebelahan dengan masjid baru yang sedang direnovasi. Menjadi semakin kuno dan tersisih di antara modernisasi gedung-gedung di Singapura.
Bersyukur umat Islam di sini meskipun dari segi jumlah sudah tersisih menjadi minoritas, tapi berusaha bertahan hidup dalam persaingan modernisasi. Jumlah umat muslim di negeri ini tinggal 15 persen. Sekitar 400 ribu dari jumlah penduduk 5,6 juta.
Masjid ini tetap terpelihara agar sejarah Islam di negeri ini tidak lenyap punah. Dindingnya didominasi cat warna hijau. Di bagian depan ada bedug dan pagar setinggi satu meter yang mengelilingi teras masjid.
Di mihrab ada mimbar kayu yang peliturnya masih mengilap. Mimbar kayu berundak tiga anak tangga. Di atasnya ada tempat duduk khotib saat khotbah Jumat. Mimbar ini jadi saksi perjalanan Islam di negeri ini. Sudah berapa banyak mubaligh berdiri di situ menyampaikan dakwah Islam.
Amin menjelaskan, masjid satu lantai yang dibangun tahun 1940 ini masih kokoh. Kayu penyangga pada bagian pojok bangunan terlihat kuat. Lantai keramik teras masjid bermotif kembang warna abu-abu masih terbingkai rapi. Tidak ada retak maupun yang lepas.
”Masjid terus kita rawat dan pertahankan walaupun di samping kanan kiri depan belakangnya sudah berdiri bangunan modern,” tutur Amin sambil melangkahkan kaki keluar masjid melanjutkan mendampingi peserta Rihlah Dakwah PWM Jatim melihat di bangunan lain. (*)
Penulis Ichwan Arif Editor Sugeng Purwanto