PWMU.CO – Dalam lintasan sejarah, tokoh-tokoh pergerakan Muhammadiyah tidak pernah absen dari panggung politik. KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, Panglima Besar Soedirman, dan lainnya terjun ke dunia politik. Jadi sekarang tak perlu bertanya lagi masuk politik atau tidak.
Hal itu disampaikan oleh Drs H Kuswiyanto MSi ketika menjadi pemateri pada Diskusi Publik bertajuk Pilkada 2020 Penonton atau Pemain yang digelar Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PWM Jatim di Hall Mas Mansur Jalan Kertomenanggal Surabaya, Sabtu (24/8/19).
Dia mengatakan, dalam tataran praktis ternyata Muhammadiyah masih kalah dengan organisasi lain yang sudah menguasai kekuasaan. ”Kita sudah merasakan tiga kali ikut DPD belum berhasil. Banyak bupati atau walikota kalau disebut Muhammadiyah itu seperti momok,” ujar Kuswiyanto, anggota DPR dari PAN periode 2014-2019.
Pilpres kemarin, kata dia, Muhammadiyah tidak jelas sikapnya. Kalau boleh dikelompokkan maka ada kelompok Malik Fadjar Cs, Amien Rais Cs, dan kelompok anak muda yang mengambil jalan pintas di PSI, Perindo dan lainnya. ”Semua dibolehkan dan tidak ada guidance dari Muhammadiyah, akhirnya terpecah dan tidak jelas,” ujarnya.
Sekarang, sambung dia, Muhammadiyah makin tidak jelas, mau ambil ranah ideologis atau pragmatis. Ranah pragmatis nanggung karena tidak punya uang. Mau merambah ideologis sekarang tidak laku. ”Sekarang itu bicara keyakinan dan lain sebagainya masih kalah dengan wani piro,” ungkapnya.
Menurut dia, saat ini kekuasaan itu ada dua, yakni oligarki politik dan ekonomi. Dalam oligarki politik maka yang berkuasa itu ketua partai. Anggota DPR itu tidak punya peran apa-apa, tapi peran strategis itu dipegang ketua. ”Kalau Muhammadiyah ingin menguasai politik harus bikin partai,” tegasnya.
Sedangkan oligarki ekonomi, artinya sekarang yang berkuasa adalah pemilik modal. ”Terakhir, usul saya agar Muhammadiyah mengambil PAN lagi dan harus dikendalikan oleh Muhammadiyah. Selama ini PAN kelihatannya sebagai partai Amal Usaha Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah tidak diajak apa-apa untuk urusan strategis dan kenegaraan,” katanya.
Semakin lama, kata dia, semakin tidak jelas yang diperjuangkan. Demokrasi tidak, kesejahteraan tidak, keadilan tidak juga. ”Kalau tidak bisa diambil lagi maka Muhammadiyah perlu bikin partai lagi,” tandasnya. (*)
Penulis Sugiran Editor Sugeng Purwanto