PWMU.CO – Muhammadiyah itu memandang politik bagaikan bunga mawar. Bunganya dianggap indah tetapi tidak berani memetik karena ada durinya, akhirnya tidak memiliki bunga mawar dan bunga itu diambil orang lain.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Prof Dr Zainuddin Maliki MSi ketika menjadi pemateri pada Diskusi Publik Pilkada 2020 Penonton atau Pemain yang digelar Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jatim di Hall Mas Mansur Jalan Kertomenanggal IV/1 Surabaya, Sabtu (24/8/19).
Di Muhammadiyah itu politik digambarkan ada dua, yakni politik kebangsaaan dan kekuasaan. “Muhammadiyah domainnya di politik kebangsaan dan politik kekuasaan itu domain partai politik,” ujarnya.
Dan jangan coba-coba Muhammadiyah dimasuki domain atau wacana politik kekuasaan. “Akhirnya Muhammadiyah tidak mau mengurusi politik kekuasaan. Kekuasaan diurusi orang lain, tapi bagaimanapun juga kekuasaan itu indah bagaikan mawar, Muhammadiyah kepingin juga memilikinya,” ungkapnya disambut tawa hadirin. “Akhirnya dapat bunga karena diberi orang bukan karena berjuang sendiri.”
Masih banyak di Muhammadiyah itu yang memandang kotor. Jangan membawa-bawa logika politik di Muhammadiyah, dan kalau berpolitik keluarlah dari Muhammadiyah. “Sehingga sempat turun surat edaran untuk tidak rangkap jabatan, dan surat edaran itu sampai sekarang belum dicabut,” jelas anggota DPR RI terpilih dari PAN ini.
Maka kemudian yang terjadi Muhammadiyah ambigu di politik. Sehingga tidak banyak yang tertarik untuk masuk ke wilayah politik. “Jangan-jangan yang tertarik politik hanya yang hadir di ruangan ini saja,” guraunya kembali disambut tawa hadirin.
Ketika diajak memilih calon kita, kebanyakan masih mikir. Lamongan itu DPT-nya 1.050.000, Gresik 800.000, dan Surabaya 1.400.000. Masak Muhammadiyah-nya tidak ada 20 persen. “Kalau 20 persen dari 1 juta berarti kita punya suara 200.000. Kenapa kita tidak bisa mengkapitalisasi untuk kepentingan politik,” tanya mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.
Sebenarnya, sambungnya, pascareformasi syahwat politik kita meningkat. Tetapi karena lama tidak berpolitik dan masih banyak yang memandang politik itu kotor, maka kemudian kita ini pingin berpolitik tapi masih mualaf dalam berpolitik. “Semangat ada tapi cara bermain, memainkan kekuasaan, dan cara mencari dukungan itu kita miskin,” tegasnya.
Zainuddin mengatakan, coba lihat tetangga kita. Organisasinya pernah menjadi peserta pemilu, beda dengan kita yang tidak pernah menjadi peserta pemilu. Yang berpengalaman punya instrumen-instrumen komunikasi politik.
“Lihatlah mereka dengan komunikasi politiknya. Tidak dimulai dari elite, tapi dimulai oleh massa. Mereka punya panggung haul, manakib, tahlilan, yasinan, barjanji, istighasah, dan sebagainya. Semuanya diinisiasi oleh anggota,” terangnya.
Sementara Muhammadiyah, tanyanya, berkumpulnya bagaimana? Contohnya hari ini diinisiasi oleh LHKP. Kalau LHKP tidak jalan maka tidak ada dialog publik ini. Sementara instrumen di Muhammadiyah sedikit sekali.
“Mereka itu kalau berpolitik punya dalil yang banyak, mendahulukan menghindari kerusakan itu lebih penting daripada membangun. Sedang Muhammadiyah memilih melihat hitam putih, tidak bisa ales. Politisi itu harus bisa ales, maka sekarang saya mulai belajar ales,” tawa hadirin pun pecah kembali.
Kalau tidak maka akhirnya politik hitam putih, tidak bisa memberi justifikasi sesuatu yang dipandang oleh masyarakat. Masyarakat kita kalau sudah dibenturkan maka ngeri hasilnya, ideologis sekali melihatnya. “Begitu menyimpang dari apa yang dianggap benar secara ideologi oleh masyarakat, maka kita akan dihakimi dan diserang habis-habisan,” imbuhnya.
“Kalau Muhammadiyah tidak mau jadi penonton dan ingin jadi pemain dalam pilkada, maka hal-hal seperti itu harus menjadi bahan kajian dan diskusi,” ujarnya. (*)
Kontributor Sugiran. Editor Mohamamd Nurfatoni.