PWMU.CO-Kampung Warmon di Distrik Mayamuk Sorong, Papua Barat, saat ini sudah ramai dan tertata. Banyak rumah tembok. Punya lima masjid, dua mushala, dan sekolah. Juga ada gereja. Bahkan punya perpustakaan kecil yang disebut Nabaca Bukuga.
Ini kampung warga suku Kokoda. Anak-anak setiap sore pergi mengaji di masjid dan mushala. Punya guru mengaji. Masjid dan mushala dipakai shalat berjamaah lima waktu sehari dengan imam orang setempat. Ada pengurus kampung yang melayani warga. Juga ada Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Warmon.
Kepala Kampung yang juga Ketua PRM Warmon Syamsuddin Namugur mengatakan, Warmon Kokoda merupakan kampung Muhammadiyah. ”Ini kami seratus persen Muhammadiyah dan ingin mewujudkan cita-cita Kiai Dahlan, Muhammadiyah yang berkemajuan, ” kata Syamsuddin.
Muhammadiyah, lanjut dia, banyak berkontribusi bagi kampung ini. Dahulu kita berkebun dengan cara-cara yang biasa. Kini kita tahu tentang pembibitan, penanaman, perawatan sampai panen. ”Kita juga belajar membuatan pupuk kompos, dan alhamdulillah panen kebun kita baik,” ujarnya.
Dia menyampaikan, masyarakat Kokoda akan terus memperbaiki diri. Agar bisa melahirkan generasi yang lebih baik dan taat kepada Allah.
”Kita lebih konsen memperhatikan pendidikan anak muslim Papua untuk belajar di jenjang pendidikan tinggi. Supaya mereka menjadi kader-kader Muhammadiyah terdepan dalam menciptakan Papua yang berkemajuan,” tandasnya.
Ketua RT 1 Jalil Namugur menambahkan, sejak awal pertemuan Muhammadiyah sudah membuktikan keseriusan membangun masyarakat suku Kokoda di sini.
”Saya masih ingat betul saat genset dari Muhammadiyah jadi bantuan pertama yang tiba,” ujarnya. ”Tidak sampai satu tahun, Muhammadiyah bangun lagi masjid, setelah itu sekolah,” tambahnya.
Kemudian tahun 2016 membuka bantuan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membangun 55 rumah permanen. Tahun berikutnya 2017 datang lagi pembangunan lagi 80 rumah.
Pemandangan ini berbeda suasananya sepuluh tahun lalu. Waktu itu kampung ini masih baru. Warga suku Kokoda yang menetap di situ, sebelumnya hidup nomaden. Berpindah-pindah untuk mencari makanan dan berburu.
Saat mereka berpindah kadang menimbulkan konflik karena menduduki tanah masyarakat lain. Misalnya, tanah milik transmigran yang sudah diolah menjadi ladang.
Pernah mereka menetap di sekitar Lapangan Udara Domine Eduard Osok. Kemudian ada perluasan Lapangan Udara Domine Eduard Osok. Permukiman warga ini tergusur.
Kehidupan suku dan problemanya ini menarik perhatian Rustamadji, ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Sorong. Itu sekitar tahun 2007.
”Ini ironis bagi suku nomaden yang mulai hidup menetap tapi tak memiliki tanah sendiri,” kata Rustamadji yang terpilih sebagai Tokoh Perubahan Tahun 2018 oleh Harian Republika. Tahun itu juga STKIP Muhammadiyah berubah menjadi Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong.
Warga suku Kokoda yang tergusur pembangunan bandara ini kemudian mendapatkan tanah relokasi seluas dua hektare. Berupa tanah rawa yang sekarang ditempati ini.
Waktu itu jumlah penduduknya sekitar 350 orang. Rustamadji bersama tim dari kampusnya berdakwah mengajari berkebun dan beternak. Rustamadji lantas menggandeng Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah untuk membina suku ini.
”Banyak orang yang pesimis waktu itu. Menurut mereka, susah mengajari warga nomaden berkebun. Belum lagi sikapnya yang suka bikin masalah. Tapi kalau tidak kita mulai sekarang kapan suku ini bakal maju,” tuturnya.
Tahun berikutnya pada 2008, membangun masjid. Menurut dia, masjid ini penting untuk pusat dakwah. Pembinaan agama, mengaji, dan kegiatan sosial lainnya.
”Pemahaman agama warga masih minim. Dosen dan mahasiswa yang beragama Islam dilatih untuk membina mereka. Masjid ini menjadi tempat belajar bagi anak-anak Kokoda,” cerita Rustamdji.
Setelah masjid berdiri berikutnya membangun sekolah. TK dan SD. Namun ada masalah. Besi-besi untuk fondasi dijarah orang. Dijual, duitnya untuk membeli rokok. ”Orang masih belum paham betapa pentingnya sekolah sehingga tega mengambil besi,” katanya.
Pembangunan sekolah terhenti. Lalu penggalangan dana diaktifkan lagi. Dengan susah payah akhirnya sekolah berdiri. Ternyata muncul masalah juga. Anak-anak Kokoda belum mengenal sekolah. Tidak langsung begitu saja mau belajar di dalam kelas. Apalagi orangtua, menganggap sekolah tak penting. Mereka harus kerja membantu orangtua cari makanan.
”Mahasiswa STKIP Muhammadiyah yang ditugasi di sini menjadi berat. Harus menjemput murid-muridnya di rumah. Mereka harus sabar membujuk agar mau datang ke sekolah,” ujarnya. Lambat laun akhirnya orangtua dan anak-anak terbiasa dengan sekolah. Kegiatan belajar di sekolah lantas berjalan.
Mengutip Muhammadiyah.or.id, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) juga turun berdakwah di kampung Warmon. Lewat program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mulai 2016. Para mahasiswa membantu mengajar, mengaji, dan membaca. Para mahasiswa ini yang mendirikan perpustakaan Nabaca Bukuga. Juga mengajari anak-anak muda manajemen.
Sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah yang juga dosen UMY Bachtiar Dwi Kurniawan mengatakan, mengajari warga untuk bertani dan beternak harus telaten dan sabar. Sebab suku ini sebelumnya tak pernah mengenal bidang ini.
”MPM pernah memberi sapi lima ekor untuk dikembangbiakan. Ternyata semua sapi jadi kurus. Dua ekor mati. Sebab sapi hanya dikandangkan tak diberi makan,” tuturnya.
Masa itu sudah berlalu. Kampung Warmon dan warganya makin maju. Mereka juga mendapat kucuran dana desa. Warga juga sudah mengenal kartu identitas seperti KTP dan KK sehingga ada yang bisa bekerja di sektor formal. Sertifikat tanah hibah kampung ini diserahkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir tahun 2019. (*)
Editor Sugeng Purwanto