PWMU.CO – Bagaimana hukum membuat polisi tidur di jalan? Sementara Islam mengajarkan untuk menyingkirkan segala rintangan yang menghalangi jalan?
Persoalan itu menggemuka dalam Pengajian Ahad Pagi di Masjid At Taqwa Wisma Sidojangkung Indah, Menganti, Gresik, Ahad (1/9/19).
Nadjib Hamid, ustadz yang menjadi pembicara, saat itu sedang menjelaskan tentang luasnya cakupan amal shaleh. “Amal shaleh itu adalah segala perbuatan yang prinsipnya tidak melanggar agama tetapi berguna, bermanfaat, untuk dirinya dan orang lain,” ujarnya.
Termasuk amal shaleh adalah menyingkirkan duri dari jalan. “Dalam salah satu sabda Rasulullah SAW bahwa iman itu terbagi dalam beberapa cabang. Ada yang meyebutkan 73 cabang. Yang paling ringan adalah menyingkirkan duri dari jalan,” terang Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur itu.
Artinya, sambung Nadjib, orang beriman itu peduli terhadap lingkungan. Jangan sampai ada orang lain terganggu. Jangan sampai ada orang lain tersakiti.
“Saya ketika ngaji tentang ini ditanya oleh jamaah. ‘Bagaimana hukumnya itu, yang bikin polisi tidur. Kan menganggu jalan?’ Saya bilang, kasihan ya Pak Polisi itu, tidur saja masih mengganggu. Kenapa kok disebut polisi, padahal substansinya mengganggu,” ungkapnya yang disambut tawa hadirin.
Menurut dia, kalau mau membikin polisi tidur bikinlah yang patut. “Jangan berlebihan, sangat tinggi yang dengan itu membuat orang terganggu,” terangnya.
Tapi, lanjutnya, kalau yang dimaksudkan justru untuk keselamatan supaya orang yang lewat di jalan tidak tertabrak kendaraan ya dibikin dengan sepatutnya. “Jangan dengan marah. Kalau bikin polisi tidurnya dengan marah, kemudian desainnya itu memibikin orang sulit, itu berdosa,” jelasnya.
Sebab menurut dia, prinsipnya itu tidak boleh mengganggu jalan. Segala rintangan yang ada di jalan harus disingkirkan atau imatatul adza an al-thariq.
“Tapi kadang pengendara ini kebangetan (keterlaluan). Tidak tahu di kampung banyak anak, (mengendarai kendaraan) kenceng sekali,” kritiknya. “Jadi ndak papa sejauh rintangan atau polisi tidur itu memang dibuat sepatutnya.” (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni.