PWMU.CO – Dalam lima tahun terakhir, posisi Pancasila sebagai ideologi negara bak sebuah iklan. Lazimnya iklan, rasanya terlalu banyak bintang iklan yang hanya pandai mengiklankan produk yang dibintanginnya tanpa berusaha untuk memakai produknya.
Kalau pun terpaksa memakai produknya, biasanya hanya sebatas kepatutan selama masa kontrak sebagai bintang iklan produk tersebut. Selebihnya bintang iklan akan mencampakkan produk yang diiklankannya. Alasannya bisa karena merasa tidak cocok dengan produk yang diiklankannya atau ada tawaran menjadi bintang iklan dari produk lain yang lebih menjanjikan, dan beragam alasan lainnya.
Pancasila hanya sebatas jargon dan dikampanyekan ke publik sebagai ideologi yang hebat, ideologi yang disebutnya sebagai antitesis dan bersifat wasathiyah atas dua kutub ekstrem ideologi: kapitalisme dan komunisme atau teokratik dan sekularistik. Pancasila sangat islami, sejalan dengan nilai-nilai fundamental dalam Islam: tauhid, kemanusiaan dan keadaban, kecintaan pada tanah air (hubbul wathan), permusyawaratan (syura), dan keadilan serta sanjungan lainnya yang menegaskan kehebatan Pancasila sebagai ideologi negara bak layaknya mengiklankan sebuah produk.
Lembaga seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibuat dengan kerja-kerja yang tak jelas. Keberadaannya terkesan sebatas memperkuat negara dalam ber-Pancasila yang tafsir dan praktIknya lebih sering bertabrakan dengan nilai-nilai filosofis Pancasila yang (dulu) dirumuskan oleh para pendiri bangsa.
Lebih sadis lagi, bukan hanya sekadar dijadikan iklan, Pancasila juga dijadikan sebagai alat “pecah belah”, dijadikan instrumen untuk menciptakan polarisasi ideologis di masyarakat antara kelompok yang merasa paling NKRI dan Pancasilais dengan kelompok yang menjadi “tertuduh” sebagai pihak yang dinilai anti-NKRI dan tidak Pancasilais. Menuduh kelompok lain tidak pancasilais, radikal, dan intoleran. Sebaliknya menganggap kelompoknya paling pancasilais, moderat, dan toleran secara serampangan. Semuanya dilakukan dengan dalih Pancasila. Terjadi ketegangan ideologis. Inilah realitas Pancasila dalam lima tahun terakhir.
Kondisi ini mengingatkan pada suasana politik awal hingga paruh 1980-an, saat negara dengan segala kekuatan politik yang dimilikinya memaksakan menjadikan Pancasila menjadi asas tunggal. Upaya ini dimulai sejak pidato Presiden Soeharto tanggal 27 Maret 1980 dan diulanginya kembali di depan pasukan Kopasanda (Kopassus) Jakarta tanggal 16 April 1980. Dengan nada keras Soeharto menyatakan perang terhadap ideologi-ideologi selain Pancasila.
Pada pidato kenegaraan 16 Agustus 1982 di DPR, Soeharto menegaskan kembali bahwa Pancasila satu-satunya azas ormas. Terlepas ada motif apa di balik pidato kenegaraan Presiden Soeharto, jelasnya upaya ideologisasi Pancasila menjadi asas tunggal telah memancing ketegangan di masyarakat, ketegangan antara negara di satu pihak dengan (terutama) kelompok-kelompok Islam di pihak lain.
Lazimnya dalam polarisasi ideologis, maka positioning negara tentu berada dan berpihak atau bahkan “menunggangi” kelompok yang mengklaim diri sebagai paling NKRI dan pancasilais. Sebab bisa jadi negaralah yang sejatinya berada di balik polarisasi ideologis ini. Negaralah yang sebenarnya menciptakan ketegangan ideologis, dengan harapan negara akan memperoleh keuntungan-keuntungan politik dari polarisasi dan ketegangan ideologis yang terjadi di masyarakat.
Suasana ideologis di era Orde Baru ini terulang kembali pada saat ini, bahkan kondisinya jauh lebih buruk. Bila ketegangan di era Orde Baru yang mengedepan adalah murni ketegangan ideologis yang melibatkan kekuatan state vis a vis kekuatan civil society, yang setidaknya tergambar dari lahirnya kelompok-kelompok civil society yang sangat kritis kepada negara, seperti Forum Demokrasi dan Petisi 50.
Sementara ketegangan yang terjadi saat ini sengaja “diciptakan” atau ada semacam ideological engineering, seolah-olah terjadi ketegangan ideologis di masyarakat antara kelompok yang mengklaim sebagai mendukung Pancasila dengan kelompok yang dituduh anti-Pancasila. Dan ketegangan ideologis yang terjadi saat ini sejatinya motifnya bukan (semata) ideologis sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru, tapi ada motif-motif ekonomi, di mana ada kekuatan ekonomi raksasa yang selama ini sudah menguasai perekonomian kita yang mencoba melakukan cengkeraman lebih dalam lagi dengan cara memanfaatkan isu-isu ideologis yang memang paling mudah diciptakan di masyarakat.
Pancasila yang sejatinya sudah final bagi mainstream masyarakat dan kekuatan politik di Indonesia direkayasa seolah-olah ada dan jumlahnya besar yang menolak Pancasila. Riset-riset soal Pancasila yang temanya selalu membenturkan Pancasila dengan Islam yang dalam lima tahun terakhir begitu marak, tampak juga terlihat direkayasa begitu rupa. Survei-survei ini hasilnya selalu mengekspose secara berlebihan persentase yang sangat kecil yang disebutnya menolak Pancasila dibanding dengan mengekspose persentase yang begitu besar (selalu masih di atas 80 persen) di kalangan umat Islam yang mendukung Pancasila sebagai ideologi negara. Seakan berjamaah, kesimpulan survei-survei ini selalu menyudutkan umat Islam sebagai intoleran, radikal, dan anti-Pancasila.
Ketegangan-ketegangan ini senantiasa akan terjadi ketika Pancasila hanya diposisikan sebatas “iklan” tanpa sedikit pun upaya untuk membumikan nilai-nilai fundamental Pancasila. Mengaku negara Pancasila yang sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi alergi dengan hal-hal yang berbau Ketuhanan (versi agama resmi apapun di Indonesia) hadir di ranah publik. Padahal konsekuensi ideologis ketika negara mendeklarasikan diri sebagai “negara berketuhanan”, maka menjadi kewajiban bagi negara untuk berkomitmen menghadirkan nilai-nilai ketuhanan tersebut di ranah publik, bukan malah sebaliknya, berusaha menghadangnya. Nilai-nilai ketuhanan dalam konteks negara Pancasila bukan lagi bersifat khas dan urusan private, sebagaimana kerap dikampanyekan oleh kalangan sukularis, tapi bersifat ‘am atau public yang mengharuskan Negara menghadirkan nilai-nilai ketuhanan tersebut.
Mengakunya negara Pancasila tapi melakukan pembiaran praktik-praktik ekonomi yang sangat kapitalistik. Rumus kapitalisme baik dalam pengertian klasik maupun neo-klasik tetap saja tak beda jauh: menindas, monopolistik, menciptakan kesenjangan ekonomi yang ekstrem, dan menyengsarakan. Model ekonomi seperti inilah yang saat ini dipraktekan secara telanjang di negara yang konstitusinya tegas menyebut bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan (Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945).
Mengaku negara Pancasila yang sila keempatnya berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” tapi dalam praktik politiknya sangat liberal. Bukankah sejatinya sila keempat menghendaki agar praktek politik Indonesia mengusung spirit yang oleh Abu al-A’la al-Maududi disebutnya sebagai teo-demokrasi, sistem yang di dalamnya menggabungkan prinsip ketuhanan dalam wujud syura (permusyawaratan) dan demokrasi melalui perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung. Mekanisme pemilihan serba langsung jelas sangat anti-Pancasila.
Ketika elit negeri ini tak berusaha serius menghadirkan Pancasila sebagaimana spirit ketika disepakati sebagai ideologi negara, tanggal 18 Agustus 1945, tentu sambil mengabaikan gentlemen agreement tanggal 22 Juni 1945 yang menghasilkan Piagam Jakarta, maka selamanya Pancasila tak akan pernah berarti apapun bagi bangsa dan negara Indonesia. Pancasila selamanya hanya akan sebatas menjadi iklan, yaitu iklan bernama Pancasila dan menjadi alat negara untuk melakukan adu domba dan polarisasi ideologis di masyarakat. (*)
Kolom oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ.