PWMU.CO – Great man gone too soon, orang hebat itu pergi terlalu cepat. Ia memang sudah 83 tahun, tapi kepergiannya tetap terasa terlalu cepat. Kita bangsa Indonesia bukan hanya kehilangan putra terbaik, tapi kita telah kehilangan momen sejarah.
Indonesia tidak bisa mengoptimalkan—kalau tidak menyia-nyiakan—kemampuan manusia hebat ini. Ia tinggal beberapa langkah saja untuk bisa merealisasikan impiannya membawa bangsa ini naik kelas ke level yang lebih tinggi dalam persaingan peradaban dunia. Andai sejarah berpihak kepadanya dan ia bisa menjadi presiden. Andai …
Habibie bukan politisi. Ia profesor yang jago memahami manuver pesawat terbang, tapi ia tak paham manuver politik, sehingga menjadi korban manuver politik manusia-manusia picik di sekitarnya yang memainkan gergaji angin untuk memotong kaki Habibie.
Ia terlihat seperti seorang political novice, terlalu hijau, polos, dan mungkin juga naif. Ia bisa mencapai level tertinggi sebagai wakil presiden karena mendapatkan proteksi politik dari Soeharto. Tapi, Mei 1998 Soeharto sang mentor jatuh. Habibie sang protege kehilangan proteksi. Ia mencoba lepas dari bayang-bayang sang mentor. Sia-sia.
Medan yang dihadapinya terlalu brutal. Bahkan, orang-orang di lingkungan partainya sendiri, Partai Golkar, justru menjadi Brutus yang ganas. Ia digergaji, dikerjai tanpa ampun. Pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang MPR ditolak. Ia jatuh, di-impeach oleh MPR. Nawaksara terulang setelah Soekarno di-impeach oleh MPRS pada 1966.
Nurcholish Madjid, alias Cak Nur, dengan bijak mengingatkan kita bahwa brutalitas politik akan membawa preseden dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sekali kita dengan brutal meng-impeach seorang presiden akan terjadi impeachment selanjutnya. Ah, Cak Nur—-pun jadi korban brutalitas politik dari partai yang sama dengan Habibie. Cak Nur ngenas, meninggal.
Itulah mengapa Amerika tidak pernah melakukan impeachment terhadap 45 orang presidennya. Kata Cak Nur, sekali terjadi impeachment akan ada impeachment lainnya. Sekali kudeta, akan muncul kudeta lainnya.
Kudeta, impeachment, seharusnya menjadi senjata pamungkas yang tak boleh sembarangan dikeluarkan. Makin jarang dipakai makin sakti. Itulah yang diugemi Amerika. Seorang presiden yang moralitasnya dianggap brengsek seperti Bill Clinton—yang menyelingkuhi Monica Lewinsky malam-malam di Oval Office—tetap lolos dari impeachment.
Prediksi Cak Nur—saya tak tega menyebut kutukan politik—pun jadi kenyataan. Setelah meng-impeach Bung Karno, kita menjatuhkan Pak Harto, lalu menjegal Habibie, meng-impeach Gus Dur. Siapa menjamin tidak akan terjadi lagi?
Mengapa Gus Dur di-impeach? Dia dianggap tak kapabel antara lain karena fisik difabel. Cacat matanya jadi olok-olok politik. Duh, bangsa macam apa kita ini? Amerika punya lima orang presiden difabel, tak pernah diolok-olok, apalagi dibeber oleh media. Roosevelt, misalnya, adalah presiden difabel yang tidak bisa jalan sempurna. Tak banyak yang tahu. Tak pernah diekspos media.
Habibie pergi membawa momentum sejarah yang terkubur bersamanya. Ia mencoba menciptakan perlindungan politik sebagai proteksi baru melalui ICMI. Terjadi pembelahan diametral di tubuh ABRI antara jenderal hijau dan jenderal merah-putih. Masyarakat terpolarisasi antara religius dan nasionalis, modernis dan tradisionalis. Islam yang punya masjid dan Islam yang tak bermasjid.
Kuntowijoyo menyebut kejatuhan Habibie adalah imbas dari perseteruan Islam masjid versus Islam tanpa masjid. Sejak 1955 sampai saat itu, sampai sekarang, skor tak pernah berubah 45 persen untuk Islam masjid dan 55 persen untuk Islam tanpa masjid.
Habibie harus mengubur mimpinya. Ia seorang jenius yang tahu persis bagaimana memajukan negara Arkipelago ini dengan menciptakan konektivitas pulau-pulau terpencil melalui tol langit.
Visinya canggih dan cemerlang. Dengan penguasaan teknologi penerbangan yang dimilikinya ia membangun konektivitas dengan membangun industri pesawat terbang dalam negeri. Inilah konsep tol langit yang dahsyat. Dengan memakai pesawat terbang semua daerah akan tersambung, tak ada yang terisolasi.
Sebuah lompatan yang visioner harus terkubur prematur. Sekarang, kita tergagap-gagap ketika berbicara mengenai konektivitas antarpulau. Kita bicara mengenai infrastruktur fisik, tol, pelabuhan laut, dan udara. Rasanya negara kita ini seperti mundur seratus tahun.
Gagasan Habibienomics hanya tinggal cerita. Musnah sudah impian untuk mewujudkan Indonesia berdaya saing ekonomi internasional melalui penerapan teknologi tingkat tinggi. Alih-alih menjadi negeri produsen kita terperosok menjadi negeri penadah tanpa arah.
Selamat Jalan Habibie, kekasihku … (*)
Kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior.