PWMU.CO – Adalah sangat menarik yang ditulis Pujangga Agung Tanah Jawa Raden Ngabehi Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha atau puisi Zaman Gelap sekitar tahun 1860.
Bait satu: Sekarang derajat negara terlihat telah suram. Pelaksanaan hukum dan perundangan sudah rusak karena tanpa teladan. Kini, sang Pujangga hatinya diliputi rasa sedih, prihatin tampak jelas kehina-dinaannya amat suram. Tanda-tanda kehidupan akibat silang sengkarut duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana.
Bait 5: Bahwa orang berjiwa bijak justru kalah dan berada di belakang. Demikian apabila mau memperhatikan tanda-tanda zaman. Apakah gunanya kita percaya pada berita-berita kosong (hoax, fake news). Justru terasa semakin menyakitkan hati lebih baik menulis cerita-cerita kuna.
Puncaknya di bait 7: Amenangi jaman edan. Ewuh aya ing pambudi . Melu edan nora tahan. Yen tan milu anglakoni, boya kaduman melik kaliren wakasanipun. Dilalah kersa Allah begja-begjaning kang lali luwih begja kang eling lan waspada.
Artinya, menghadapi zaman edan keadaan menjadi serba sulit turut serta edan tidak tahan. Apabila tidak turut melakukan tidak mendapatkan bagian akhirnya menderita kelaparan. Sudah kehendak Allah betapun bahagianya orang yang lupa lebih berbahagia mereka yang ingat dan waspada.
Akhir zaman yang disebut Kalatidha ini juga disebut zaman edan. Akal sehat sudah tidak jalan. Moralitas sudah tercampakkan. Manusia tidak lagi memiliki hati nurani atau bashirah. Orang bijaksana disingkirkan. Yang gila dianggap sebagai kebenaran sementara yang waras malah dianggap gila. Nilai dibolak-balik, dijungkirbalikkan. Yang salah tertawa dan yang benar menderita.
Tidak ada keteladanan karena para pemimpinnya palsu. Menjadi pemimpin semata karena dinasti, punya uang, bisa beli suara pemilu. Jabatan publik bukan untuk pengabdian tapi untuk mendapatkan keuntungan materi semata. Kekuasaan untuk komoditi bukan untuk melayani.
Zaman Kalatidha dalam istilah sekarang lebih kurang adalah post truth, pascakebenaran. Kebohongan. Hoax, kepalsuan, fake news (berita palsu) diproduksi secara massal, diframing (dikemas) sebegitu canggih, dipasarkan secara massif. Sering kali tidak cukup dengan tenaga manusia, tapi sudah menggunakan alat canggih seperti cyber drone, akun BOT (build operate and transfer).
Contoh sederhana, ada kentongan. Fakta benarnya ya kentongan. Satu orang mengatakan itu kentongan. Tapi kemudian ada 20 orang mengatakan bahwa itu biawak. Mereka berteriak dengan pengeras suara dan diulang-ulang. Maka publik membenarkan bahwa itu biawak.
Nah, 20 orang inilah yang disebut buzzer. Peniup suara kejahatan. Mereka melakukan kebohongan, mengumpat, memaki, mem-bully, melakukan persekusi, menyebar fitnah, adu domba, semata-mata karena bayaran. Keberadaan mereka sudah dijelaskan Allah di Al Humazah (104).
“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dan mengira hartanya dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam neraka hutamah.”
Post truth dicontohkan film Fast and Furious: Hobbs and Shaw bahwa sang Dalang Kejahatan yang tidak tampak, misterius, menguasai lebih 140 media. Maka dengan medianya dia mengubah opini publik bahwa tiga pejuang atau jihadis Hob, Shaw, dan Hattie yang hendak menyelamatkan umat manusia dari genocide, menjadi penjahat sehingga menjadi musuh bersama masyarakat.
Di alam nyata, seorang bandit bisa di-branding menjadi pejuang. Ustad di-branding jadi teroris. Amar makruf nahi mungkar diubah jadi terorisme, radikalisme, dan inteleran. Pemimpin bodoh menjadi pemimpin supercerdas. Yang palsu jadi kelihatan orisinal, yang orisinal jadi kelihatan palsu. Semakin sulit membedakan ulama pewaris Nabi dengan ulama suu’ (sesat). Sulit membedakan hoax dan factual. Begitu kabur yang haq dengan yang batil.
Ingat dan waspada
Ronggowarsito memberikan kunci bagaimana hidup di zaman Kalatidha atau Post Truth. Yaitu, dilalah kersa Allah begja-begjaning kang lali luwih begja kang eling lan waspada. Sudah kehendak Allah betapapun bahagianya orang yang lupa lebih berbahagia mereka yang ingat dan waspada.
Ingat itu artinya dzikir. Dan dzikir dalam arti luas tidak hanya membaca tasbih dan tahlil serta shalawat. Dzikir ingat sangkan paraning dumadi (asal manusia dan kemana kembalinya). Selalu merasa diawasi oleh Tuhan. Rahmat Tuhan mengalir dalam aliran darahnya. Bergerak bersama denyut jantungnya. Keilahian bersemayam di dalam hatinya. Ruh Tuhan di dalam nafasnya. Sehingga jarak antara Tuhan dengan dirinya lebih dekat dari urat lehernya. Itulah wahdatul wujud, kemanunggalan keilahian dengan dirinya, manunggaling kawula-Gusti.
Dzikir juga membaca Quran karena Quran juga disebut Adzzikr. Petuah ini bisa jadi mengacu pada Hadits bahwa siapa yang membaca surah Kahfi di hari Jumat akan memancar cahaya dari ujung kaki sampai ke langit. Tentu saja ini bukan kalimat muhkamat atau empirik tetapi kalimat mutasyabihat atau perlu ditakwilkan. Dalam perspektif ruhi, berarti hidupnya akan berada dalam cover, naungan rahmat Tuhan.
Tentu saja “membaca” itu dalam artian yang paling minimal. Tetapi surah Kahfi itu harus dipelajari, dipikirkan, direnungkan, diaplikasikan. Mengapa Kahfi? Karena kita sedang berada di dalam goa (kahfi) akhir zaman. Di Kahfi tersimpan mutiara-mutiara ajaran, petunjuk, peringatan. Baru di ayat satu sudah diiingatkan tentang eksistensi Tuhan, Kanjeng Nabi Muhammad dan Quran yang tidak dijadikan bengkok.
Jangan lupa hafalkan Kahfi 1-10. “Siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surat Al-Kahfi, maka ia akan terlindungi dari Dajjal.” (HR Muslim No. 809). Di sini tersembunyi tokoh kegelapan akhir zaman dan menjadi fitnah terbesar umat beriman yaitu Dajjal. Dajjal tersembunyi di antara mereka yang memalsukan kitab-kitab suci sebelum Quran. Mereka yang mengatakan bahwa Allah punya anak.
Adapun waspada selalu menjaga diri lahir batin. Meskipun sudah memegang tauhid (Al Ikhlas) tapi harus selalu memohon perlindungan Allah (Al Falaq dan Annas). Ingat, manusia punya kelemahan. Di dalam diri manusia ada kecenderungan kepada kejahatan dan ketakwaan (As-Syams 8). Ingat bapak ibu manusia juga sempat tergoda. Bahkan manusia terpilih Kanjeng Nabi Muhammad pun seandainya hatinya tidak diperteguh oleh Allah nyaris bisa digoda (Al Isra 73-74).
Mintalah perlidungan Tuhan yang menguasai waktu Subuh. Dari apa? Dari kejahatan mahluk yang Allah ciptakan. Kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dari kejahatan perempuan penyihir yang meniup pada tali-talinya. Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila mendengki.
Istilah “malam” secara ruhi bisa berarti dunia kejahatan. Dunia kegelapan, kebodohan. kejahiliyahan. Mungkin juga zaman Kalatidha, Post Truth. Penyihir bisa diperspektifkan adalah tukang bikin hoax, pem-bully, penyebar kebencian dan adu domba, propaganda dan provokasi untuk membentuk opini publik, mencuci otak masyarakat, mengaburkan antara yang haq dengan yang batil.
Di zaman now, penyihir itu layak diartikan media. Baik media mainstream maupun media sosial. Media telah menjadi alat superampuh untuk melakukan cuci otak masyarakat. Media memiliki kemampuan menciptakan ilusi, halusinasi delusi pada masyarakat. Seolah dapat mengubah tali menjadi ular, mengubah ulama menjadi gendruwo dan sebaliknya.
Media punya kekuatan menjungkirbalikkan, mengaburkan yang haq dengan yang batil. Yang asli dengan yang palsu. Yang bijak dengan yang durhaka. Yang tulus dengan yang munafik. Yang jujur dengan yang culas.
Daya rusak media jauh lebih dahsyat dibanding sihir klasik seperti jaran goyang, semar mesem, welut putih. Tidak hanya menceraikan suami-istri (Al Baqarah 102) tapi dapat memporakporandakan suatu bangsa, kelompok, komunitas.
Dan berlindunglah pula kepada Tuhannya manusia, Rajanya manusia. Ilahinya manusia. Dari kejahatan setan yang tersembunyi. Yang membisikkan ke dalam dada manusia. Dari golongan jin dan manusia.
Tentu saja jangan pernah lepas doa akhir zaman yang tertera di Kahfi 10. Doa itulah yang menyelamatkan penghuni goa. Doa ini pula yang insya Allah menyelamatkan penghuni goa zaman now, akhir zaman. Allahu a’lam bis-shawab. (Tamat)
Oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.