PWMU.CO – Kita sebagai umat Islam harus aktif bekerja positif dan konstruktif dalam membangun kehidupan di atas bumi. Itulah misi kemanusiaan yang hakiki, sesuai pernyataan Allah SWT, “Aku jadikan manusia sebagai khalifatullah fil ardh”.
Hal itu disampaikan Prof Dr Din Syamsuddin MA dalam Pengajian Pimpinan Ranting Se-Cabang Laren dan Peresmian Masjid Al-Muttaqin Desa Jabung, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Ahad (22/9/19).
Menurut Din, kata khalifah secara harfiah bisa berarti menggantikan Allah sang Pencipta di bumi. Maksudnya yang diberi tanggung jawab untuk membangun dan memakmurkan bumi dengan melakukan islah.
“Maka kita harus menjadi Muslim yang berfungsi muslih yakni melakukan islah, perdamaian, perbaikan, dan pembangunan di muka bumi. Ini adalah tugas kita sebagai khalifah,” terang Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2005-2015.
Menurut Din, konsep khilafah, walaupun tidak disebut secara eksplisit dalam Alquran, namun dapat dipahami dari konsep khalifah itu. “Tapi harus dijelaskan bahwa khilafah yang harus diwujudkan adalah khilafah kebudayaan atau khilafah peradaban,” ujarnya.
Din mengatakan, khilafah ini lebih luas dari sekadar khilafah politik. “Khilafah politik memang pernah terwujud dalam sejarah Islam seperti pada masa Dinasti Umawiyah, Dinasti Abbasiyah, atau Dinasti Usmaniyah. Namun pada masa modern sekarang ini dengan adanya negara-negara bangsa (nation state) maka khilafah sebagai kekuasaan politik tidak diperlukan,” ujarnya.
Apalagi, sambungnya, kita di Indonesia sudah memiliki Negara Pancasila yang ikut didirikan oleh tokoh-tokoh Islam. “Maka Negara Pancasila dapat kita pandang sebagai Darul Ahdi wa Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian),” tegasnya.
Maka, lanjutnya, kepada semua pihak termasuk pemerintah agar tidak alergi degan istilah khilafah dan istilah-istilah keagamaan lainnya. “Jangan karena menolak khilafah politik, khilafah peradaban kemudian dinegasi. Itu sikap yang tidak wajar dan tidak proporsional,” ujar dia.
Din juga mengajak umat Islam untuk tetap komitmen dengan Pancasila dan NKRI. “Membangun kekuasaan pemerintah di luar pemerintah yang sudah menjadi kesepakatan NKRI yang berdasarkan Pancasila,” kata Din yang disambut tepuk tangan hadirin.
Din mengatakan, sesuai keputusan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar tahun 2015, konsep Negara Pancasila sudah disepakati sebagai darul ahdi wa syahadah. “Itu sudah menjadi kesepakatan,” terangnya.
Dia bercerita, pada tahun 2012 dia diundang bersama tokoh-tokoh Islam lainnya ke MPR RI yang waktu itu diketuai almarhum Taufiq Kemas untuk menyampaikan pidato dalam rangka 1 Juni yang dianggap sebagai hari lahirnya Pancasila. Di situ Din mengatakakan Negara Pancasila sebagai negara kesepakatan, oleh karena itu dia mengajak umat Islam berpegang teguh pada keyakinan ini.
Din menegaskan, nilai-nilai Pancasila itu beririsan, berhimpitan, atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Ketuhanan Yang Maha Esa kebetulan yang merumuskan waktu itu KH Bagus Hadikusumo.
Maka, Din perpendapat, umat Islam jangan mau dihadapkan dengan Pancasila. “Adalah kebodohan kalau umat Islam mau dipertentangkan dengan Pancasila,” ujarnya.
Karena itu Din mengajak umat Islam jangan ragu-ragu dengan NKRI yang berdasarkan Pancasila. “Ini sudah keputusan dari Dewan Pertimbangan MUI yang saya ketuai,” ujar sambil mengungkapkan Dewan Pertimbangan MUI beranggotakan 99 tokoh, 70 orang adalah ketua-ketua ormas Islam dan 29 adalah tokoh ulama dan cendikiawan Muslim. “Salah satu keputusan kita tetap berpegang teguh pada Pancasila,” ucapnya.
Din berpesan agar tidak memakai Pancasila untuk menyudutkan pihak lain seperti mudah menuduh pihak lain tidak Pancasilais. “Klaim sepihak yang monopolistik seperti ini sesungguhnya bukan sikap Pancasilais,” kritiknya.
Menurut Din justru umat Islam-lah yang paling berpegang teguh pada Pancasila. Ber-Bhinneka Tunggal Ika itu ajaran Islam. Allah menciptakan manusia dalam kemajemukan sudah diamalkan umat Islam. Eh datang kelompok-kelompok yang menuduh umat Islam intoleran.
“Kalau umat Islam tidak toleran tidak ber-Bhinneka Tunggal Ika, maka Indonesia tidak akan seperti ini,” ujarnya. (*)
Kontributor Slamet Hariadi. Editor Mohammad Nurfatoni.