PWMU.CO – Hoax adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjukan pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu pembaca/ pendengarnya agar mempercayai sesuatu yang biasanya digunakan dalam forum media sosial seperti Facebook, Twitter, dan yang paling populer adalah di forum WhatsApp. Belakangan berita-berita hoax di Indonesia semakin menjamur.
Korbannya mulai dari orang yang tidak lulus SD, sarjana, bahkan profesor. Mereka percaya dan yakin dengan berita-berita hoax, bahkan merasa melakukan kebaikan saat menyebarkan berita bohong tersebut.
Anehnya, meskipun sudah banyak klarifikasi, mereka tetap melakukannya dan tidak pernah sedikit pun menyesali perbuatannya, apalagi untuk minta maaf. Hoax benar-benar seperti candu.
Medsos sejatinya adalah sarana komunikasi dan informasi. Sungguh elok dan indah jika dijadikan media silaturahmi, media pemberi nasihat kebaikan, pendidikan, kesehatan, dan informasi aktual positif lainnya. Karena media adalah upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebaikan maka antara sarana dan tujuan harus memiliki bobot idealitas yang seimbang. Sebagaimana bunyi kaidah fikih, al-wasa’il laha ahkam al maqasid.
Berita bohong sekalipun ia baik dan bermanfaat bahkan diyakini maslahat bagi umat tetap saja tidak boleh disebarluaskan, karena tujuan yang baik tidak boleh ditempuh dengan cara yang tidak baik.
Dalam kaidah fikih disebutkan “al-ghayatu laa tubarriru al-wasilah illa biddalil”. Bahwa untuk mencapai tujuan tidak boleh menggunakan segala cara kecuali dengan cara yang dibenarkan dalil. Sebagai sistem ajaran yang sempurna, Islam memberikan bimbingan dan arahan kepada manusia dalam semua aspek kehidupan mereka, termasuk dalam hal menyikapi berita berita palsu atau hoax. Dalam hal ini patut diperhatikan beberapa hal.
Pertama, masalah etika penyebaran berita. Islam mengajarkan tabayyun atau pengecekan sumber berita sebelum kita menyebarluaskannya ke tengah masyarakat. Alquran mengecam orang-orang yang ikut-ikutan menyabarkan berita bohong, yaitu berita yang tidak jelas sumber dan asal usulnya. Allah SWT berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja” (Annisa ayat 83).
لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar” (Al-Ahzaab ayat 60)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Alhujurat ayat 6).
Ayat-ayat di atas berisi bimbingan dari Allah untuk hamba hamba-Nya terkait dengan penyebaran berita. Orang beriman tidak selayaknya menyebarkan berita tidak jelas.
Jika datang kepada mereka berita penting, yaitu berita yang berkaitan dengan kemaslahatan umum, yang jika disebarkanluaskan bisa mengusik kedamaian dan ketenteraman masyarakat, maka harus dipastikan sumber beritanya: apakah sungguh-sungguh ataukah bohong.
Hal ini dengan cara mengembalikan berita tersebut kepada para tokoh masyarakat baik ulama ataupun umara, atau para ahli yang memiliki otoritas untuk menilai kebenaran suatu berita, yaitu cendikiawan, ilmuan, dan peneliti.
Terkait Alhujurat ayat 6, para mufassirin menjelaskan bahwa secara bahasa, kata fasiq dan naba’ yang menjadi kata kunci dalam ayat tersebut muncul dalam bentuk nakirah (indefinitif) sehingga menunjukkan siapa saja yang dikenal dengan kefasikannya. Juga menunjukkan segala bentuk berita dan informasi, berita yang besar atau kecil, yang terkait dengan masalah pribadi atau sosial, apalagi berita besar yang melibatkan banyak orang dan berdampak sosial sangat luas.
Dari sisi analisis redaksional, kata “in” yang bermakna “jika” dalam ayat “jika datang kepadamu orang fasik membawa berita” menunjukkan suatu keraguan sehingga secara prinsip orang beriman semestinya bersikap ragu dan berhati-hati terhadap segala informasi dari seseorang yang memiliki indikator kefasikan. Untuk kemudian melakukan pengecekan atas kebenaran berita tersebut, sehingga tidak menerima berita itu begitu saja tanpa ilmu.
Berdasarkan acuan ini juga, ulama ahli hadits melarang dan tidak menerima berita dari seorang yang majhul, yaitu orang yang tidak jelas identitas dan jati dirinya, karena orang seperti itu kemungkinan fasiknya sangat kuat. Al Hasan berkata, al-muslim waqqaaf hatta yatabayyana. “Orang Muslim diam dan tidak berkomentar hingga ada kejelasan berita”. Karena Muslim sejati adalah mereka yang tidak menggunakan lisan dan tangannya untuk menyakiti sesama Muslim.
Dalam perbendaraan hadits, cukup banyak sabda Nabi Muhammad SAW, yang mengkritik keras pada orang yang asal copas dan sebar berita tanpa pengecekan lebih dulu. Di antaranya ada yang menyebut sebagai pembohong dan ada juga yang menyebut sebagai orang yang dibenci oleh Allah SWT. Dalam hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah, Nabi SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Sesungguhnya Allah membenci tiga hal pada kalian: menyebarkan kabar burung (katanya-katanya), pemborosan harta, dan banyak bertanya. (HR Al-Bukhari Nomor 1477).
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Dari Hafsh bin Ashim dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Cukuplah seseorang dianggap pembohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan.” (HR Muslim hadits nomor 6).
Kedua, sanksi bagi penyebar berita bohong. Massifnya informasi hoax jelas mengarah pada kebencian dan fitnah. Orang beriman memiliki tanggung jawab untuk mengajak netizen (masyarakat pengguna media sosial) untuk lebih cerdas dan berkemajuan dalam mencerna informasi yang beredar. Sebelum informasi disebar, harus dicek kebenarannya. Firman Allah SWT yang telah dikutip di atas, yaitu Alhujarat ayat 6.
Merupakan landasan “fiqh medsos”, karena ada perintah Allah yang mengajarkan akhlak dan adab tentang keharusan klarifikasi dan validasi sumber informasi. Jika sampai pada tahapan mendzalimi pihak lain, seperti pencemaran nama baik, atau perbuatan tidak menyenangkan, maka bisa berhadapan dengan undang-undang, baik KUHP maupun UU ITE.
Dalam ajaran Islam, sanksi akhirat bagi penyebar berita hoax adalah azab Tuhan amat pedih. Berikut adalah penggalan dari sebuah hadits yang cukup panjang, di antaranya tentang adzab bagi para pembohong.
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخَذَا بِيَدِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ فَإِذَا رَجُلٌ جَالِسٌ وَرَجُلٌ قَائِمٌ بِيَدِهِ كَلُّوبٌ مِنْ حَدِيدٍ قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَنْ مُوسَى إِنَّهُ يُدْخِلُ ذَلِكَ الْكَلُّوبَ فِي شِدْقِهِ حَتَّى يَبْلُغَ قَفَاهُ ثُمَّ يَفْعَلُ بِشِدْقِهِ الْآخَرِ مِثْلَ ذَلِكَ وَيَلْتَئِمُ شِدْقُهُ هَذَا فَيَعُودُ فَيَصْنَعُ مِثْلَهُ
Beliau SAW berkata, “Aku tadi malam mimpi tentang dua orang laki-laki yang mendatangiku kemudian keduanya memegang tanganku lalu membawaku ke negeri yang disucikan (al-muqaddasah), di sana terdapat seorang laki laki yang sedang berdiri dan yang satunya lagi duduk yang di tangannya memegang sebatang besi gancu. Besi gancu tersebut dimasukkan ke dalam satu sisi mulutnya hingga menembus tengkuknya. Kemudian dilakukan hal yang sama pada sisi mulut yang satunya lagi, lalu dilepas dari mulutnya dan dimasukkan kembali dan begitu seterusnya. (HR Al Bukhari, hadits nomor 1297).
Di akhir hadits, Rasulullah SAW memperoleh penjelasan dari malaikat tentang maksud dari kejadian yang beliau lihat. Orang pertama yang dilihat adalah seorang pendusta yang mengada adakan kedustaan dan kemudian menyebar luaskan ke seluruh penjuru dunia.
Ketiga, apabila berita hoax sudah tersebar di pelbagai forum, maka harus diberikan penjelasan di forum yang sama bahwa berita tersebut dusta. Menjelaskan kepada masyarakatnya tentang kesesatan atau kebohongan yang pernah disebar luaskan adalah bentuk pertobatan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman.
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَٰئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. (Albaqarah ayat 160).
Semoga kita termasuk di antara orang yang selalu mengklarifikasi berita dan tidak termasuk orang yang menyebarkan berita-berita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Demikian semoga bermanfaat. (*)
Oleh Dr Syamsuddin MA, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim. Tuisan ini kali pertama dimuat Majalah Matan.