PWMU.CO – Kamis siang (26/9/19), saya dan istri memutuskan mengikuti aksi unjuk rasa mahasiswa se-Surabaya yang juga diikuti oleh beberapa elemen masyarakat sipil seperti serikat buruh dan LBH.
Hampir semua kampus terwakili dalam aksi yang dinamai Surabaya Menggugat ini. Karena kemacetan yang luar biasa di beberapa titik kota, juga sejak BG Junction, kami memutuskan turun dari mobil dan berjalan kaki menuju Tugu Pahlawan dan Gedung DPRD Jatim. Jalan Bubutan dipenuhi pengunjuk rasa berseragam jaket almamater berbagai warna.
Dengan cukup bersusah payah, kami berhasil menerobos kerumunan anak-anak muda itu hingga ke sekitar Jalan. Indrapura di depan Gedung DPRD Jatim. Kami menyaksikan bagaimana puluhan ribu mahasiswa dari seluruh kampus se-Surabaya tumpek blek di pusat kota Pahlawan ini.
Di tengah terik panas matahari, mereka bergabung dengan banyak elemen masyarakat menyampaikan aspirasi dengan berbagai cara dan bentuk. Di beberapa titik ada panggung mobil di mana beberapa tokoh aksi ini berorasi.
Karena cukup lelah kepanasan, kami beristirahat di Masjid Kemayoran depan Gedung DPRD Jatim itu dan bertemu dengan beberapa kolega dosen muda Universitas Hang Tuah. Usai shalat Dhuhur berjamaah itu saya sempat mengobrol dengan seorang mahasiswa peserta unjuk rasa. Namanya Yasin Sulthan, mahasiswa asal Surabaya semester VII dari UINSA Jurusan Ilmu Tafsir Al Quran.
Bagi Yasin, unjuk rasa siang hari ini memang pengalaman yang luar biasa. Sebagai kota yang setiap hari disibukkan dengan urusan perdagangan dan industri, Yasin tidak menyangka apabila mahasiswa-mahasiswa se-Surabaya itu masih peduli dengan tetek bengek demokrasi.
Saya menyebut aksi unjuk rasa massal berjudul Surabaya Menggugat ini sebagai respons non-linier masyarakat sipil menanggapi beban kehidupan berbangsa yang makin tak terkendali.
Sebagai unjuk rasa yang relatif damai, gugatan arek-arek Surabaya ini tidak boleh dianggap remeh oleh siapapun, terutama para oligarch yang kini berkuasa di negeri ini. Jika gugatan ini diabaikan begitu saja, akan datang gugatan lagi yang lebih dahsyat.
Unjuk rasa hari ini di Surabaya ingin menyatakan bahwa gugatan ini akan dicatat sebagai bagian dari sejarah perjuangan arek Suroboyo untuk rakyat Indonesia demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat. Mereka menolak akrobat legislagi cacat prosedur dan substansi yang bakal mengkhianati Pancasila dan Pembukaan UUD45 melalui persekongkolan anggota parlemen yang mau lengser, kabinet demisioner dan para pemodal yang mengongkosi logistik pasar politik liberal negeri ini.
Benarlah yang dikatakan Pak Ghufron, sopir taxi yang membawa saya balik dari kawasan Jembatan Merah ke Sukolilo, bahwa terjadi persekongkolan untuk menjegal agenda reformasi. Pak Ghufron ternyata aktivis Kelompok Tani dan Nelayan Andalan, sebuah LSM yang cukup kritis.
Tidak banyak yang tahu bahwa seratus tahun lebih yang lalu, para pendiri bangsa tumbuh di Kampung Peneleh tidak jauh dari Tugu Pahlawan itu. Di kampung itu Soekarno, Muso, dan Kartosuwirjo nyantri politik pada Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Saya berkeyakinan bahwa aksi Surabaya Menggugat ini adalah resonansi Indonesia Menggugat, pledoi Soekarno muda di depan pengadilan Landraad Belanda di Bandung 1930. Aksi unjuk rasa Soekarno-Soekarno muda hari ini di Surabaya bukan untuk makar, tapi untuk menyatakan mosi tidak percaya pada parlemen dan pemerintah yang semakin mengkhianati agenda reformasi. (*)
Kawasan Tugu Pahlawan, 26 September 2019.
Oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.