PWMU.CO – Di tengah maraknya aksi mahasiswa yang mempersoalkan sejumlah UU (KPK) dan RUU, mucul tuduhan jika aksi mereka ditunggangi. Benarkah?
Sejarah Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sangat lekat dengan gerakan-gerakan mahasiswa. Tidak sepantasnya pemerintah dan sebagian masyarakat nyinyir dengan gerakan mahasiswa.
Masyarakat seharusnya bersyukur memiliki mahasiswa-mahasiswa yang berani kritis menyuarakan aspirasi membela kepentingan rakyat di hadapan penguasa.
Berbeda dengan Thailand misalnya yang selalu diwarnai kudeta militer dalam demokrasinya. Atau Filipina yang selalu sukses mengadakan people power didukung tokoh agama dalam menumbangkan pemerintahan otoriter. Tercatat dua kali Filipina sukses melakukan people power, tahun 1986 menumbangkan Ferdinand Marcos dan tahun 2000 menumbangkan Joseph Estrada. Indonesia punya sejarah yang berbeda dengan keterlibatan mahasiswanya.
Bangsa Indonesia pun tak boleh iri dengan Malaysia yang selalu sukses melakukan pergantian perdana menteri melalui proses pemilu yang jujur dan adil. Demikian juga dengan proses politik di Amerika Serikat yang nyaris sempurna sebagai negara demokrasi yang tidak luput untuk dibandingkan dengan demokrasi di Indonesia. Ibarat pepatah, “Lain ladang, lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Suka tidak suka inilah Indonesia “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”.
Gerakan mahasiswa memiliki sejarah panjang sejak era STOVIA atau Sekolah Dokter Djawa tahun 1851. Mahasiswa STOVIA adalah pelopor Kebangkitan Nasional 1908 bersama berdirinya organisasi Budi Utomo.
Kesadaran untuk bangkit dan berorganisasi demi membela rakyat pribumi selanjutnya menginspirasi berdirinya Muhammadiyah tahun 1912, Nahdlatul Ulama tahun 1926 hingga lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Selain di tanah air, nun jauh di ‘negeri induk semang’ Hindia Belanda, mahasiswa yang belajar di Belanda tidak ketinggalan berjuang untuk tanah airnya. Tercatat Mohamad Hatta, Sutan Sjahrir dan kawan-kawan membentuk organisasi Indische Vereeniging-Perhimpunan Indonesia tahun 1924.
Gerakan mahasiswa di tanah air maupun di luar negeri kerap mengganggu zona nyaman penguasa bersama para pengikutnya. Ancaman, intimidasi, bahkan penjara sangat akrab dengan mahasiswa aktivis seperti Sutomo, Sukarno, Hatta, Sjahrir dan kawan-kawan. Mereka yang telah menginspirasi bangsa untuk merdeka di tengah zona nyaman kolonialisme. Tercatat kemudian Sukarno, Hatta, Sjahrir Kasman dan kawan-kawan mantan aktivis mahasiswa berada di garda depan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Gerakan mahasiswa terbukti ‘ditunggangi’ misi politik yaitu kemerdekaan Indonesia.
Memasuki era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga gerakan hari ini, mahasiswa masih setia menjadi “wakil rakyat” yang sesungguhnya ketika wakil rakyat DPR dan DPD mendekat kepada penguasa yang harus dikontrolnya.
Gerakan mahasiswa ‘ditunggangi; sebagai keniscayaan. Gerakan mahasiswa 1966 ditunggangi Sekber Golkar dan ABRI yang telah lama berseteru dengan PKI. Gerakan mahasiswa 1998 ditunggangi gerakan prodemokrasi yang selama pemerintahan Orde Baru geraknya dibatasi. Era multipartai dan kebebasan pers oleh Presiden Habibie sebagai berkah reformasi gerakan mahasiswa 1998.
Kini setelah 21 tahun berlalu, mahasiswa kembali bergerak menuntut agenda reformasi 1998 dituntaskan. Gerakan mahasiswa kini, melalui salah satu juru bicaranya, benar jika ditunggangi, yaitu ditunggangi kepentingan rakyat.
Gerakan mahasiswa dari awal ibarat mata air yang bersih. Bukan salah mahasiswa jika kemudian ada yang mencemari bahkan membelokkan aliran airnya menuju sawah pribadi, danau kelompok tertentu atau laut untuk kepentingan bersama.
Sejauh ini gerakan mahasiswa masih efektif sebagai penyambung aspirasi rakyat ketika wakil rakyat berkoalisi dengan pemerintah dalam mengkhianati amanat penderitaan rakyat. Mahasiswa selalu memperjuangkan how, bagaimana sebaiknya. Mahasiswa tidak terlalu peduli dengan who, siapa dia yang mengemban amanat rakyat.
Gerakan Mahasiswa 1974 atau dikenal dengan Malari 1974 tidak diikuti pergantian presiden. Demikian juga gerakan mahasiswa 1999 yang mengontrol Presiden Habibie bisa melakukan suksesi kepada Presiden Abdurrahman Wahid secara konsitusional di DPR/MPR.
Sekali lagi inilah Indonesia yang sejarah kesadaran kemerdekaan bangsanya diperjuangkan salah satunya oleh mahasiswa. Mari mengapresiasi gerakan mahasiswa dan semoga ini yang terakhir.
Gerakan mahasiswa turun ke jalan akan berhenti jika demokrasi berjalan dengan baik. Sebagaimana pesan pendiri bangsa: “Demokrasi hanya berjalan baik jika rakyatnya pandai”.
Di sini peran Muhammadiyah perlu lebih bersemangat memajukan pendidikannya demi mewujudkan SDM unggul. Cita-cita luhur demokrasi ekonomi, politik, sosial dan budaya yang ideal hanya bisa terwujud dengan SDM unggul melalui pendidikan. Wallahu’alambishshawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, peserta aksi gerakan mahasiswa 1998 di Surabaya.
Demi Tingkatkan Kompetensi Bahasa Arab, Santri Baru Al-Ishlah Ikuti Pembekalan dari LIPIA
Wakil Pengasuh Ponpes Al-Ishlah Sendangagung, Drs H Agus Salim Syukran MPdI (tengah) hadir dan memberi...
Discussion about this post