PWMU.CO – Ustadz saya ingin bertanya, kami sering belanja barang bekas di pasar loak. Barangnya bagus dan harganya murah. Namun, kata orang, ada dugaan di antara barang-barang yang dijual tersebut berasal dari hasil curian.
Mohon penjelasan bagaimana hukumnya?
Hamba Allah, Surabaya
Jawaban:
Sebelum kita membicarakan hukum membeli barang yang diduga kuat berasal dari hasil curian, alangkah baiknya jika kita lebih dulu memahami syarat-syarat keabsahan jual beli.
Menurut ahli fikih, di antara syarat jual beli adalah barang yang dijual memang benar-benar milik si penjual, bukan barang orang lain. Oleh karena itu jika terjadi transaksi jual beli dengan penjual barang yang bukan miliknya, maka jual belinya tidak sah.
Dasarnya adalah hadis riwayat al-Khamsah dan at-Tirmidzi dari Amru bin Syu’aib.
عن عَبْد اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. رواه الخمسة إلا ابن ماجه. قال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح
Dari Abdillah bin Umar RA, sesungguhnya Nabi SAW, bersabda, “Tidak halal jual beli salaf, jual beli dengan dua syarat dalam akad, keuntungan dari sesuatu yang tidak dijamin dan jual beli barang yang bukan milikmu.” (HR Khamsah, kecuali Ibn Majah. Menurut At-Tirmizy ini adalah hadis hasan shahih), Nailul Authar, V/213.
Berdasarkan sejumlah dalil termasuk hadis Abdullah bin Umar di atas, para ulama ahli fikih menetapkan paling tidak ada lima syarat yang harus terpenuhi dalam akad jual beli terkait dengan barang, yaitu:
Pertama, barang itu suci, bukan benda najis. Kedua, barang itu dimiliki oleh penjualnya, meski penjual boleh meminta jasa perantara atau pegawai untuk menjualkannya. Ketiga, barang itu jelas ukurannya serta deskripsinya, bukan sesuatu yang majhul. Keempat, barang itu bisa diserahkan, baik wujudnya atau pun formalitasnya dan legalitasnya. Kelima, barang itu punya manfaat buat manusia dan tidak memberikan madharat.
Oleh karena itu dalam kitab-kitab fikih dijelaskan bahwa salah satu syarat sahnya jual beli adalah barang yang dijual (mabi’) adalah hak milik si penjual. Jika barang yang dijual bukan hak milik si penjual maka hukum transaksi jual beli yang dilakukan adalah tidak sah.
Namun apabila pembeli tidak mengetahui sama sekali bahwa barang yang dibeli adalah barang hasil curian, maka boleh baginya membeli barang tersebut dan hukum jual belinya adalah sah.
Muhammad Ibnu Sulaiman Al-Kurdy menegaskan bahwa diperbolehkan bertransaksi dengan orang yang biasanya menyimpan barang-barang haram, bahkan dengan orang makruf sebagai pelaku kezaliman, asal saja orang-orang tersebut tidak pernah menyebutkan bahwa barangnya adalah barang haram atau pembeli (al-musytariy) tidak yakin barang tersebut adalah barang, (Bughyatul Musytarsyidin, I/261).
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَةِ رَحِمَهُ الله: اَلأَمْوَالُ الْمُغْصُوْبَةُ وَالْمَقْبُوْضَةُ بِعُقُوْدِ لَا تِبَاحُ بِالْقَبْضِ إِنْ عَرَفَهُ الْمُسْلِمُ: اِجْتَنِبُهُ، فَمَنْ عَلِمتُ أَنَّهُ سَرْقُ مَالاً، أَوْ خَانهُ فِي أَمَانَتِهِ، أَوْ غَصْبَهُ فَأَخَذَهُ مِنَ الْمَغْصُوْبِ قَهْراً بِغَيْرِ حَقَّ: لَمْ يَجْزُ لِي أَنْ آخَذَهُ مِنْهَ، لَا بَطْريْقَ الْهبةُ، وَ لَا بِطَرِيْقُ الْمُعَاوِضَةِ، وَ لَا وَفَاءُ عَنْ أَجْرِةُ، وَلَا ثَمَنَ مُبِيْعُ، وَ لَا وَفَاءُ عَنْ قَرْض، فَإِنْ هَذَا عَيْنَ مَالَ ذَلِكَ الْمَظْلُوْمِ. اِنْتَهَى – مَجْموعُ الفَتَاوَى 29 / 323
Berkata Syaikul Islam Ibn Taimiyah: jika ada harta yang diambil dengan jalan ghasab (tanpa izin pemiliknya) atau didapatkan dengan cara-cara yang tidak dibolehkan (oleh syara’) dan seorang Muslim mengetahuinya, maka ia harus menjauhinya. Barang siapa yang saya ketahui bahwa ia mencuri harta, korupsi, merampas secara tidak sah, maka terlarang bagi saya untuk mengambil darinya dengan akad apapun. Apakah dengan cara hibah, barter, gaji dari sebuah pekerjaan, jual beli, ataupun pelunasan hutang. Karena asal harta tersebut didapat dengan cara kedzaliman. (Majmu’ al-Fatawa Ibn Taimiyah, XXVI/323).
Dalam hal ini para ulama telah berijmak bahwa hukum asal dalam jual beli adalah mubah atau boleh boleh saja sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Syariat Islam punya misi memberantas kriminalitas dan membatasi keleluasaan gerak para pelanggar. Di antaranya ialah mengharamkan membeli sesuatu barang yang sudah diketahui atau diyakini bahwa barang tersebut adalah hasil rampokan, atau curian atau sesuatu yang diambil dari orang lain dengan jalan batil.
Jika seseorang membeli barang yang diyakini hasil curian, maka sama halnya dengan membantu para pelanggar hak untuk terus melakukan pelanggaran hukum. Karena dengan lakunya barang-barang hasil kejahatan di pasaran, maka rantai kejahatan akan terus berlanjut.
Rela membeli barang hasil curian sama halnya dengan rela timbulnya kejahatan yang berikutnya. Dalam kaidah fikih dikatakan, ridha bisy sya’i ridha bima yatawaaldu minhu. Rela akan suatu hal sama berarti rela juga dengan sesuatu yang ditimbulkan oleh hal tersebut.
Dengan demikian, dalam perbuatan tersebut terkandung tindakan menzhalimi orang lain serta mendukung kemungkaran dan bergabung dengan pelakunya dalam berbuat dosa. Allah SWT, berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Al-Maidah ayat 2).
Dalam ajaran syariat Islam setiap orang beriman adalah dai yang punya tanggung jawab melakukan kerja al-amr bil ma’ruf wannahyu ‘anil munkar, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Dengan dasar ini, jika seseorang mengetahui terdapat barang hasil curian atau hasil pemerasan yang dijual di pasaran, maka hendaklah ia menasihati para pedagang tersebut dengan lembut dan penuh hikmah agar menghentikan kegiatannya yang tidak baik. Hal ini dalam rangka memutus mata rantai kejahatan.
Dalam tinjauan ajaran Islam tindakan ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, karena telah mencegah orang zhalim dan kezhalimannya. Ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari Anas bin Malik Ra, bahwasannya Rasulullah SAW, bersabda:
عَنْ أَنَس قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله ﷺ: اُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا، فَقَالَ رَجُل: يَا رَسُولُ الله، أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا، أَفَرَأَيْتُ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ؟ قَالَ: تَحْجُزُهُ أَو تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
Dari Anas bin malik RA, ia berkata bahwasannya Rasulullah SAW, bersabda: Tolonglah saudaramu (sesame beriman) baik sebagai orang yang dzalim ataupun didzalimi. Kemudian seorang sahabat bertanya pada beliau, Aduhai Rasulullah aku bisa menolongnya jika ia terdzalimi. Jika ia pelaku kedzaliman bagaimana aku menolongnya? Kemudian Rasulullah SAW bersabda, engkau bisa menghalanginya atau mencegahnya. Hal itulah yang dimaksud menolongnya. (HR, al-Bukhari nomor 6952. Kitab al-ikrah, bab Yamin Arrajul li Shahibih innahu Akhuhu)
Berdasarkan sabda Nabi SAW, di atas, pertolongan bagi orang yang berbuat zhalim itu adalah dengan mencegahnya dari perbuatan zhalim dan pelanggaran yang dilakukannya. Sedangkan menolong yang dizhalimi adalah dengan berusaha mengembalikan haknya kepadanya serta menghalanginya dari kezhaliman orang lain.
Dalam khazanah hukum Islam tindakan tersebut termasuk fardhu kifayah. Jika pemegang kekuasaan tidak melakukan tugas tersebut, maka tugasnya terdelegasikan kepada semua orang untuk dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya, serta dengan penuh kelemahlembutan dan kebijaksanaan. Dan tentu saja insyaallah, dia akan mendapatkan balasan dan pahala atas tindakannya tersebut.
Pengharaman ini tidak ada hubungannya dengan lokasi dijualnya barang, apakah di pasar loak atau pasar biasa. Jika barang tersebut diketahui sebagai hasil curian atau diduga kuat sebagai hasil curian maka haram membelinya.
Barang curian tetap haram sampai kapan pun. Status haramnya tidak bisa terhapus oleh lamanya waktu. Sebab lamanya waktu dalam pandangan syariat Islam tidak dapat menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Demikian pula hak pemilik yang asli tidak dapat gugur lantaran berlalunya waktu.
Demikian, wallahu a’lam. (*)
Ditulis oleh Dr Syamsuddin MA, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Tulisan ini kali pertama dipublikasikan Majalah Matan.