PWMU.CO – Masyarakat Muslim yang tinggal di Tsukuba Jepang patut bersyukur sebab pada akhirnya mereka dapat membangun Masjid Tsukuba sebagai salah satu tempat ibadah dan pusat aktivitas syiar Islam di Negari Sakura.
Masjid Tsukuba terletak di 315-10 Kaname, Tsukuba, Ibaraki 300-2662 Jepang, atau kurang lebih 50 kilometer dari Ibu Kota Jepang Tokyo. Masjid ini dapat ditempuh kurang lebih 55 menit dengan jalan kaki atau berjarak sekitar 4,9 kilometer dari Tsukuba Gakuin University, salah satu tempat belajar siswa SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik dalam kegiatan Spemdalas Study in Japan yang dilaksanakan selama sepekan, 16-21 September 2019.
Awalnya, sekitar tahun 2001 komunitas Muslim yang tinggal di sekitar Ibaraki berhasil membeli bangunan rumah tua, bekas pabrik karet milik orang Jepang setelah hampir 10 tahunan berusaha mencari-cari tempat untuk ibadah bersama.
Di rumah itulah aktivitas ibadah, pengajian pekanan, taman Alquran, daurah tahunan dan kegiatan syiar Islam lainnya dijalankan. Bersama dengan FKMIT (Forum Keluarga Muslim Indonesia Tsukuba) dan TIA (Tsukuba Islamic Association), aktivitas dakwah di pemukiman ini semakin meluas.
Hal ini menjadikan bangunan tua yang sekaligus dijadikan masjid dan pusat syiar Islam ini semakin memprihatinkan. Selain ruang utama sudah tidak cukup, bahkan kadang menggunakan halaman samping untuk shalat Jumat. Bangunan itu pun mulai rapuh akibat seringnya terdapat lintasan gempa dan taifun yang melewati.
Taifun inipun terjadi pada hari-hari di pekan sebelum rombongan Spemdalas Study in Japan sampai di Tsukuba sebagaimana yang disampaikan Dean of Tsukuba Gakuin University Profesor Kanakubo Noriko.
Berbekal pada hasil tabungan komunitas Muslim dari Pakistan, Banglades, Palestina, Arab, dan Indonesia serta hasil infak dari shalat Jumat dan donasi Mmuslim Tsukuba sekitar 2000 yen tiap bulan, akhirnya tahun 2003 dilakukan renovasi masjid yang direncanakan membutuhkan biaya bangunan 180.000.000 yen.
Melihat dari desainnya, masid rencana dibangun dua lantai dengan disertai perpustakaan, ruang belajar, dan juga halal shop. Bangunan masjid yang ada di foto ter-update pada tanggal 18 Mei 2019.
Pada perjalanan pulang ke Indonesia, Sabtu (21/9/19), rombongan transit di Changi International Airport Singapura sekitar pukul 02.30 dini hari. Siswa dan tim dari Spemdalas Study in Jepan berkesempatan melaksanakan jamaah shalat Tahajud di ruang tunggu bandara.
Sembari menunggu shalat Subuh, PWMU.CO berbincang dengan Lussy Novarida Ridwan tentang perkembangan Muslim di Tsukuba. “Alhamdulillah, sekitar tahun 2007 pembangunan masjid semakin diperlebar dan peroleh perizinan beraktivitas dengan syarat tidak mengganggu dan rame karena dekat dengan tempat penelitian,” jelasnya.
Meski sebagian besar masyarakat Jepang beragama Shinto dan Budha, selama ini, pemerintah Jepang sangat menghormati aktivitas kegiatan umat Islam di negaranya dengan catatan tidak ramai dan mengganggu. Terlebih di Tsukuba yang terkenal dengan Largest Japan’s Science City yang memiliki 300 institusi swasta/pemerintah dan 60 lembaga penelitian.
Hal inilah juga yang menjadikan Tsukuba menarik didatangi lebih dari 75.000 orang asing dari 133 negara. Mereka yang datang ke sana adalah para pelajar, peneliti dan pekerja. Kondisi ini pula yang menyebabkan perkembangan umat Islam di Tsukuba terus bertambah tiap tahunnya.
Lusy menjelaskan, pada tahun 2006 jumlah komunitas Muslim di Tsukuba sekitar 150 orang dari berbagai negara, 40-50 orang di antaranya dari Indonesia. Hal ini Ia perkirakan saat ikut menyiapkan makanan dan masak di Masjid Tsukuba saat ada kegiatan bersama.
Pada tahun 2013 bertambah jumlahnya menjadi 350 Muslim dan sekitar 90-an berasal dari Indonesia. Pada tahun 2019 ini, komunitas Muslim Tsukuba telah mencapai 580 orang.
Dosen Tsukuba Gakuin University yang juga menjadi penggerak FKMIT ini menjelaskan, aktivitas Muslim di Masjid Tsukuba selain shalat jamaah lima waktu, adalah melaksanakan kajian yang dilaksanakan setelah shalat Maghrib atau Isya untuk komunitas umum dari berbagai negara.
Ada pula Quran Classes for Kidz atau taman Quran bagi anak dan remaja yang dilaksankan setiap Sabtu setelah shalat Magrib di bawah bimbingan Brother Sajid Ur Rehman.
Bersama FKMIT mengadakan pengajian khusus putri yang diberikan nama SIPUT, kegiatan ini dilaksanakan tiap malam jumat dengan berbagai bentuk dan topik mulai tentang hijab, pergaulan remaja hingga membaca Alquran bersama. Ada pula pengajian online menggunakan Skype dan bergantian ustdzah yang bertugas memberikan materi. Untuk kaum Adam dapat mengikuti ‘Kupat’, yang dilakukan secara berkeliling sepekan sekali di hari Ahad.
Tadarus online juga berkelompok. Mereka saling saling menyimak. Ini biasanya dilakukan di pagi tiap Jumat pagi. Tiap bulan juga ada kegiatan kajian secara menyeluruh untuk Muslim Tsukuba dengan menggunakan bahasa Inggris bertempat di Masjid Tsukuba.
Saat bulan Ramadhan tiba, terangnya, di Masjid Tsukuba juga mengadakan kegiatan ifthar (berbuka) dan shalat Tarawih berjamaah. “Bulan Ramadhan inilah yang paling menyenangkan, bisa ifthar dan berjamaah Tarawih bersama. Semua anak-anaknya diikutkan shalat di masjid dengan target satu juz tiap malamnya” kata Lusy.
Tiap tahun komunitas Muslim Indonesia mengadakan liqa (pertemuan) untuk seluruh kawasan Jepang. Seringnya menghadirkan para dai kondang dari Indonesia seperti Ustadz Abdus Shomad atau Abdullan Gymnastiaar (Aa Gym) untuk memberikan ceramah agama kepada kelaurganya.
Hal ini dilakukan selain mempererat solidaritas umat Islam Indonesia di Jepang, menjalin kebersamaan, saling menyemangati, juga untuk refreshing. Misalnya difokuskan di satu tempat Tokyo maka, pengurus FKMIT dengan komunitas lainnya memfasilitasi dan mengkoordinasi kegiatan mulai transportasi, tempat penginapan, konsumsi, dan lain sebagainya.
Sekretaris Umum ASPBJI (Asosiasi Pengajar Bahasa Jepang Indonesia) ini juga bersama suaminya melakukan misi dakwah khusus dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Jepang. Ia mengumpulkan dan mengadakan sharing melalui para istri orang Jepang.
Bahan diskusinya ringan terkait parenting kadang terkait keluarga sakinah. Dari sana ia mengajak yang belum Muslim untuk masuk Islam dan yang sudah Muslim tapi belum berhijab agar semakin yakin dan konsisten dengan hijabnya. “Alhamdulillah hampir tiap dua bulan ada yang menjadi mualaf,” ungkapnya penuh syukur.
Sementara itu, suaminya, Dinar Catur Listiyanto, mengadakan pengajian rutin bulanan kepada para tenaga kasar atau yang sedang training di Jepang atau disebut Kenkyuse (dalam bahasa Jepang) yang bekerja di sekitar daerah Ibaraki.
Kadang Lusy bersama suaminya yang berprofesi sebagai peneliti Tsunami di Indonesia itu sering mengagendakan pertemuan atau family gathering bersama orang Indonesia yang beristri orang Jepang. Biasanya, aktivitas itu dilakukan pada hari Sabtu pukul 09.00-10.30.
Misi untuk mengembangkan komunitas Islam di Jepang Khususnya di daerah Ibaraki dan sekitarnya ini dilakukannya bersama keluarga dan teman temannya.
Membangun chemistry di antara kolega sesama dosen di Tsukuba Gakuin University atau teman di instasi lainnya ia lakukan dengan spirit menyebarkan dakwah Islam di negara matahari terbit ini.
“Beberapa teman dari Indonesia yang menikah dengan orang Jepang, juga banyak yang terlibat dalam misi pengembangan komunitas Islam di Jepang,” katanya. (*)
Kontributor Anis Shofatun. Editor Mohammad Nurfatoni.